Sementara misi Wajiran adalah menghijaukan gunung, mengingat 60 persen wilayah Srimulyo berupa pegunungan. Dua aliran sungai yang mengalir dan melewati desa berpotensi untuk wisata berbasis alam. Permukiman warga juga akan ditata kembali.
Wajiran mengaku sempat menawarkan visi misinya kepada Sultan. Terutama rencana mengembangkan kawasan wisata di sana. Lantaran yang dominan berkembang sampai saat ini adalah wisata, meskipun kawasan industri telah dicetuskan.
Permaisuri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas memastikan pengelolaan tanah desa di DIY akan tetap berada di tangan pemerintah desa.
“Oh ya masih tetap (dikelola oleh pemerintah desa). Tinggal nanti aturannya mungkin akan diperbaharui,” ungkap Hemas, Jumat (27/8/2021).
Baca Juga:Diiming-imingi Kerja, Dara 16 Tahun Malah Diminta Layani Pria Hidung Belang di Jogja
Kuasa hukum keraton, Achiel Suyanto juga meminta siapa pun tidak beperpikir tanah desa akan diambil oleh kasultanan atau kadipaten. Program sertifikasi tanah desa atas nama kasultanaan atau kadipaten hanya untuk menegaskan status hukum tanah desa berdasarkan hak anggaduh adalah milik kasultanan atau kadipaten.
“Pemanfaatan atau penggunaan tanah desa masih digunakan desa. Cuma desa enggak boleh menjual, tidak boleh meminjamkan kalau tidak ada izin keraton,” kata Achiel, Rabu (1/9/2021).
Dampak sertifikasi, menurut Achiel, pemanfaatan tanah desa otomatis akan semakin terkontrol oleh kasultanan dan kadipaten.
“Zaman dulu kan seenaknya. Lurah bisa seenaknya menyewakan 30 tahun, 50 tahun. Padahal jabatan lurah terbatas. Itu enggak benar. Sekarang ditata, diatur,” jelas dia.
Pemilikan tanah desa mempermudah investasi
Baca Juga:Cara Download Sertifikat Vaksin di PeduliLindungi
Kepentingan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat terhadap tanah desa tak bisa lepas dari dugaan pengembangan investasi yang mampu menghadirkan keuntungan bagi mereka. Peneliti Agrarian Resource Centre (ARC) Bandung, Erwin Suryana menyebut seolah-olah ada kebangkitan feodalisme yang ingin dihadirkan kembali.
Ia mengamati ada reorganisasi kekuasaan feodal dalam sirkulasi kapitalisme yang dihadirkan di tengah perkembangan Yogyakarta saat ini. Kasultanan pun begitu ambisius mengendalikan tanah desa di bawah kekuasannya.
“Berbagai macam investasi masuk ke Yogyakarta. Di situ sebetulnya, baik kasultanan maupun kadipaten bisa menarik manfaat dengan melakukan klaim,” terang Erwin diwawacarai secara daring, Jumat (19/2/2021).
Erwin tak bisa memastikan upaya keraton menguasai tanah desa untuk kepentingan pribadi didasari dorongan pihak lain atau internal keraton. Namun kelahiran UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY seakan memecah kebuntuan. Persoalan tanah dan pembebasan lahan yang dianggap sulit dilakukan akan lebih ringan dengan UU Keistimewaan. Berikut aturan turunannya berupa Perda Keistimewaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten, serta Pergub DIY Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa.
Upaya tersebut juga terlihat dari perencanaan yang dilakukan Pemda DIY, seperti proyek pasir besi di Kulon Progo yang dimulai pada 2013. Selanjutnya pembangunan Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) di Kulonprogo pada 2017.
“Tanah desa dinilai lebih mudah dimanfaatkan investor dalam membangun usaha. Pemerintah daerah di luar Yogyakarta juga pakai tanah desa untuk membangun pabrik atau usaha-usaha besar,” kata Erwin.