SuaraJogja.id - Dua pabrik obat terlarang di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) digrebek Bareskrim Polri. Kedua pabrik itu berada di Sonosewu, Bantul dan di Banyuraden, Gamping, Sleman.
Menurut Kriminolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Suprapto, bisnis obat-obatan jenis psikotropika memang menggiurkan. Sebab, keuntungan yang dihasilkan bisa mencapai 300 persen.
"Pembuat obat-obat itu tetap berani melakukannya meski hukumannya berat karena tahu keuntungannya sangat besar," kata Suprapto kepada SuaraJogja.id, Selasa (28/9/2021).
Suprapto menyatakan bahwa peredaran obat-obatan terlarang dan narkoba termasuk salah satu di kejahatan lintas negara. Modus operasinya biasanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau punya alibi tertentu.
Baca Juga:Terungkap Pabrik Obat Terlarang di Bantul, Mobil Boks Keluar-Masuk Saat Malam Hari
"Sehingga tidak mudah terdeteksi oleh pihak lain," paparnya.
Semisal, lanjutnya, memproduksi sebuah obat dan sudah mendapat izin. Namun, kemudian terselip obat-obat yang mestinya dilarang oleh pemerintah.
"Artinya mereka punya trik-trik tertentu untuk mengelabui atau mengecoh pemerintah dan masyarakat," katanya.
Kedua pabrik tersebut sudah beroperasi kurang lebih dua tahun terakhir. Tapi baik polisi maupun warga sekitar tidak tahu perihal pabrik tersebut.
"Saya menduga pabrik ini mempunyai satu trik-trik tertentu sehingga baru terbongkar sekarang. Ini luar biasa karena kalau dilihat dari jumlah obat yang dihasilkan sangat banyak tapi baru ketahuan sekarang," imbuhnya.
Baca Juga:Polisi Grebek Pabrik Obat Ilegal di Bantul
Sejauh ini berdasarkan penyelidikan polisi, obat-obat itu dijual ke beberapa provinsi. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan bila beredar sampai ke luar negeri.
"Belum tentu hanya terbatas di Indonesia saja. Bisa saja beredar di negara lain karena narkoba dan obat-obatan terlarang termasuk enam kejahatan lintas negara," jelasnya.
Suprapto menilai keberadaan dua pabrik berlokasi di DIY karena banyak penduduk yang berasal dari luar daerah dengan berbagai kepentingan ada di sini. Sehingga itu dianggap oleh produsen obat terlarang sebagai pasar yang baik.
"Di samping itu juga Jogja merupakan salah satu kota wisata, dimungkinkan bisa memasarkannya tidak ke konsumen lokal saja tapi konsumen mancanegara," terangnya.
Sebelumnya, Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto menyampaikan, dua pabrik itu sudah berjalan sejak 2018 yang memproduksi Hexymer, Trihex, Tramadol, Alprazolam, DMP, dan double L. Dalam sebulan mereka bisa menghasilkan 420 juta butir obat.
"Jumlah obat keras ilegal yang dihasilkan dari tujuh mesin produksi per hari adalah 14 juta butir pil. Berarti dalam sebulan bisa membuat 420 juta butir," katanya.