Untuk daging anjing itu sendiri, Widagdo menjelaskan bahwa resiko itu tergantung kepada proses pengolahan setelah hewan atau anjing itu mati. Dalam hal ini prinsipnya sama seperti hewan lain yang akan dikonsumi.
"Jadi resiko-resikonya, selama proses itu dilakukan dengan baik kemungkinan misalkan pencemaran bakteri Salmonela, Staphylococcus, E-coli yang patogen pada daging itu kecil resikonya maka itu juga tidak akan berpengaruh pada konsumen nantinya," terangnya.
Sebaliknya, jika proses pemasakan atau pengolahan daging itu tidak baik maka cemaran bakteri pada daging tersebut tetap masih bisa memiliki potensi mempengaruhi konsumen.
"Jadi sebenarnya kalau sudah dalam kondisi menjadi daging itu resiko itu tergantung proses penanganan dan pemasakan nantinya," ucapnya.
Baca Juga:Cakupan Vaksinasi di Kulon Progo Capai 71,4 Persen
Namun, Sekjen PB Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) di tingkat nasional itu juga memberikan catatan terkait dengan daging anjing tersebut. Terlebih dalam hal ini saat proses mematikan anjing tersebut.
Sejauh ini banyak yang menggunakan atau memilih cara untuk berusaja tidak mengeluarkan darah sebanyak-banyaknya dari tubuh anjing itu. Justru itu kemudian yang dapat menambah potensi cemaran mikroba lebih tinggi.
"Kan sejauh ini kita ketahui berusaha untuk tidak mengeluarkan darah sebanyak-banyaknya dari tubuh anjing. Nah ini yang memiliki peluang cemaran mikroba itu berpeluang tinggi di dalam daging," ujarnya.
Walaupun pihaknya belum mempunyai data pengujiannya secara pasti tetapi pada prinsipnya darah itu adalah media yang paling mudah digunakan oleh mikroba, bakteri untuk tumbuh.
Sehingga jika ada daging yang memiliki kandungan darah tinggi di dalamnya maka peluang untuk menjadi busuk itu lebih cepat dibandingkan daging yang darahnya keluar banyak.
Baca Juga:Akses Jalan di Kulon Progo Tertutup Longsor
"Nah ini kita terapkan di ternak potong yang lain, makanya di sapi, kambing dan babi, itu kan proses mematikannya, penyembelihan kalau mereka, dengan memotong tiga saluran, yakni makanan, pernapasan dan darah baik itu ateri dan vena," ungkapnya.
Tujuannya, dijelaskan Widagdo, supaya si hewan itu mati dengan cepat sekaligus mengeluarkan darah sebanyak-banyaknya. Sehingga poinnya untuk daging yakni dari sisi keamanan pangan.
"Prinsipnya adalah berusaha menekan cemaran mikroba patogen yang dapat berpengaruh pada kesehatan manusia. Antata lain tadi saya sebut ada Staphylococcus aureus, Salmonela, E-coli yang patogen itu yang masih mungkin bisa terbawa pada daging," jelasnya.
Sehingga diperlukan benar-benar pengolahan yang baik untuk bisa memastikan bahwa daging itu layak dikonsumsi manusia.
"Misalnya kita tahu ada sengsu itu sampai mendidih gitu ya. Nah itu mungkin bakteri dan mikrobanya sudah bisa dimatikan. Termasuk misalkan di situ ada virus rabies itu juga sudah dimatikan diproses pemasakan itu," sebutnya.
"Jadi kalau orang yang mengkonsumsi, setelah dimasak dengan baik. Ya risikonya sebenarnya sudah kecil. Kalau dari segi dagingnya mungkin demikian tapi resiko terbesarnya pada saat proses hewan akan dimatikan itu," sambungnya.