SuaraJogja.id - Kabupaten Bantul memiliki 43 desa wisata. Dari jumlah tersebut, desa wisata yang dinyatakan sehat sebanyak 26 desa.
Dari 43 desa wisata itu, 39 desa wisata telah mengantongi surat keputusan (SK) dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul.
"Dari 39 desa wisata itu pun ada enam desa wisata yang malas-malasan. Selain itu, tujuh desa wisata lainnya bahkan ora jelas (tidak jelas) karena enggak ada pengurusnya," ungkap Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Bantul Kwintarto Heru Prabowo, Selasa (23/11/2021).
Untuk itu, pihaknya akan mengidentifikasi kembali terkait dengan kelembagaan pariwisata. Targetnya pendataan selesai pada Juni 2022 mendatang.
Baca Juga:PPKM Level 3 Saat Nataru, Dispar Bantul: Masyarakat Jangan Gelisah Dulu
"Harapannya Juni tahun depan sudah selesai dilakukan pendataan. Kemudian akan kami bantu unsur kelembagaannya," ucap dia.
Dijelaskannya, secara umum memang tidak ada format baku soal desa wisata. Kendati demikian, semakin bertambahnya jumlah desa wisata tidak hanya bertahan selama satu sampai tiga tahun.
"Kalau cuma bisa bertahan paling lama tiga tahun akan berdampak pada orang yang sudah yakin bisa mendapat uang dari sektor pariwisata," katanya.
Yang terpenting, lanjutnya, ialah keberlanjutan dari desa wisata yang sudah ada. Sehingga bisa mendapat bantuan baik dari pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat.
Kendala yang ada selama ini yakni lahan yang digunakan untuk tempat wisata belum mendapat surat tanda kerelaan dari pemilik lahan dan izin lurah jika itu Sultan Ground. Bahkan ada yang menempati bantaran sungai.
Baca Juga:Korban Kekerasan Jalan, Pelajar di Bantul Dibacok Empat Pemotor
"Sebenarnya bantuan untuk mengembangkan tempat wisata diberikan asal status hukum tanahnya jelas. Sampai saat ini masih ditemukan status tanahnya yang tidak jelas," katanya.
Bupati Bantul Abdul Halim Muslih mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan mengumpulkan semua lurah untuk menyelesaikan kasus-kasus pertanahan. Adapun upaya yang akan dilakukan yakni lurah bersama badan permusyawarahan kalurahan (Bamsukal) harus membuat keputusan mengenai pemanfaatan lahan kas desa. Kedua, pemanfaatan itu harus sesuai tata ruang.
"Ketiga harus mendapatkan rekomendasi dari Gubernur DIY. Kalau itu beres, kami bisa merencanakan lebih jauh pengembangan tempat wisata yang sudah dibuat CBT," katanya.
Menurutnya, persoalan pemanfaatan lahan kas desa di DIY berbeda dengan Provinsi Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Untuk di dua provinsi itu, apabila ada persoalan kaitannya dengan tanah kas desa bisa langsung diselesaikan di tingkat kalurahan.
"Kalau di DIY tidak bisa seperti itu, apalagi itu kas desa dan sultan ground," paparnya.