Jadi Budak Seks Ayah Kandung, Korban: Tolong Jangan Sebut Nama Bapak Lagi

Sejumlah anak disabilitas di Gunungkidul jadi korban kekerasan seksual orang terdekat. Mirisnya ada yang berakhir dengan damai.

Galih Priatmojo
Senin, 13 Desember 2021 | 10:25 WIB
Jadi Budak Seks Ayah Kandung, Korban: Tolong Jangan Sebut Nama Bapak Lagi
ilustrasi kekerasan seksual. [ema rohimah / suarajogja.id]

SuaraJogja.id - Tanggal 5 Oktober 2020 yang lalu menjadi hari terpedih bagi bocah usia 13 tahun yang untuk selanjutnya sebut saja dengan nama Mentik. Di hari itu, bocah asal Padukuhan Tanjung Kalurahan Getas Kapanewon Playen Gunungkidul tersebut diperkosa ayah kandungnya.

Tak hanya sekali, bocah penderita tuna grahita ringan ini dipaksa melayani sebanyak 3 kali dalam satu hari. Dua kali di siang hari atau saat dia tengah asyik bermain dengan temannya dan satu kali di kala malam hari.

Peristiwa yang memilukan itupun masih sangat kuat terngiang di kepala Mentik. Tak heran hingga kini ia masih memendam rasa benci yang mendalam terhadap bapaknya, W.

W yang kini sudah menjalani putusan pengadilan dan mendapat hukuman penjara selama 12 tahun diketahui telah menelantarkan Mentik dan kakaknya berinisial D (14) semenjak istrinya meninggal.

Baca Juga:Disabilitas Korban Kekerasan Seksual: Dipandang Sebelah Mata

D (14) dan Mentik beberapa kali berpindah tempat tinggal. Yang pertama kedua bocah tersebut tinggal di rumah keluar kakak dari W di Padukuhan Tanjung, Playen, Gunungkidul. Namun di tempat tersebut keduanya tidak betah.

Kemudian mereka pindah, tinggal di kediaman Wakiyo yang juga masih di Padukuhan Tanjung. Kedua anak ini dirawat bagaikan anak sendiri meskipun sebenarnya keadaan Wakiyo sendiri serba terbatas.

Belakangan karena pertimbangan ekonomi, akhirnya pihak keluarga menitipkan kedua bocah tersebut di Panti Purworaharjo di Padukuhan Ploso, Kalurahan Giritirto Kapanewon Purwosari Gunungkidul. Kedua bocah ini selain diasuh di Panti Asuhan, keduanya juga menempuh pendidikan di SLB Purworaharjo.

Wakiyo mengatakan, saat pandemi Covid-19 tengah tinggi kasusnya beberapa bulan lalu, aktivitas di panti asuhan tempat Mentik dititipkan sempat dihentikan. Sementara anak asuh di panti tersebut dipulangkan.

"Semua dipulangkan karena Kepala Panti tidak ingin terjadi sesuatu saat Corona ini," tutur dia.

Baca Juga:Moeldoko Apresiasi Baleg Setujui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Jadi Inisiatif DPR

Setelah beberapa hari menginap di kediamannya, kedua bocah tersebut pamit untuk pulang ke rumah karena ingin bertemu bapak mereka. Karena ingin bertemu dengan bapaknya, akhirnya ia mempersilahkannya. Dirinya tidak menyangka jika setelah melepas kepergian keponakannya itu justru berujung petaka. Keponakannya diperkosa ayah kandungnya sendiri.

Ilustrasi kekerasan seksual pada anak di bawah umur. [SuaraJogja.com / Ema Rohimah]
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak di bawah umur. [SuaraJogja.com / Ema Rohimah]

Jangan Sebut Nama Bapak

Pengasuh Panti Asuhan Purworaharjo, Suyati mengungkapkan, sejak pemerkosaan yang dilakukan sang ayah, nyaris tidak terlampau tampak perubahan perilaku dari sosok Mentik.

Namun salah satu yang sangat mencolok adalah bocah tersebut meminta kepada dirinya untuk tidak menyebut nama bapaknya ataupun menanyakan apapun tentang bapaknya. 

"Mbok jangan tanya bapak lagi to buk,"kata Yati menirukan jawaban bocah tersebut ketika ditanya tentang bapaknya.

Yati menambahkan, rencananya pihak panti akan menampung Mentik bersama kakaknya tersebut hingga nanti dinyatakan lulus SLB tingkat SMA. Selanjutnya nanti menyesuaikan dengan permintaan keluarga kedua bocah apakah akan tetap tinggal di Panti ataupun pulang ke rumah keluarganya.

Dicabuli Teman Bapak

Aksi yang sama juga menimpa seorang gadis berkebutuhan khusus di Padukuhan Sawahan Kalurahan Bleberan Kapanewon Playen. Gadis berkebutuhan khusus berusia 18 tahun menjadi korban pencabulan yang dilakukan oleh Syt (44) warga Sawahan I Rt 034/rw 06, Kalurahan Bleberan, Kapanewon Playen yang tidak lain adalah rekan dekat orangtuanya. 

Buruh lepas ini tega melakukan pencabulan terhadap gadis berkebutuhan khusus  yang merupakan tetangga dusun.

Sebelum kejadian, pelaku, orangtua pelaku dan korban memang terlihat sedang duduk di depan rumah korban. Sesaat kemudian, ayah korban bersama tetangganya pergi ke ladang. Tak lama kemudian ibu korban juga pergi ke warung untuk belanja. 

"kedua orangtua korban meninggalkan rumah karena merasa tidak khawatir. Pelaku sudah biasa di rumah tersebut,"paparnya.

Selang 1 jam kemudian ibu korban pulang ke rumah karena telah selesai berbelanja. Di tengah perjalanan ibu korban berpapasan dengan pelaku dan pelaku berpamitan untuk pulang.

Jumini (61) kerabat korban yang tinggal serumah dengan korban mengaku dirinya yang pertama kali mengetahui keponakannya tersebut menjadi korban pencabulan yang dilakukan oleh Syt. Pagi itu, Syt memang sudah nampak di rumah mereka untuk minum kopi. Hampir setiap hari Syt memang selalu datang ke rumah tersebut sekedar untuk minum kopi ataupun bahkan makan. 

Syt sudah dianggap sebagai keluarga sendiri dan ketika Syt berada di rumah tersebut memang sudah layaknya di rumah sendiri. Ketika butuh makan ataupun minum, pelaku langsung masuk ke dapur untuk mengambil makanan ataupun minuman. Meski Syt sebenarnya tidak ada hubungan apapun dengan keluarga korban, namun sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. 

"Hampir setiap hari ke sini. Kalau lapar ya makan ambil di dapur, terus kalau mau minum ya buat sendiri. Bahkan sering jam 6 pagi sudah datang ke sini, bikin minum sendiri. Padahal orang sini belum pada bangun," ujar dia.

Pagi itu, ketika peristiwa terjadi Syt memang terlihat minum teh bersama bapak dan ibu korban. Karena musim tanam, bapak dan ibu korban lantas pergi ke ladang untuk bercocok tanam. Sementara di rumah hanya tinggal dirinya, korban dan juga pelaku. Selang beberapa saat kemudian, Jumini lantas pergi ke warung untuk membeli sayuran yang bisa dimasak.

Karena dirinya memiliki keterbatasan gerak akibat sudah lanjut usia dan pernah menderita gejala stroke, iapun berjalan pelan. Ketika pulang dari warung dirinya sempat berpapasan dengan Syt di jalan menuju ke rumahnya. Syt berpamitan karena ada keperluan mendadak. Jumini tidak merasa curiga dengan gelagat Syt yang berpamitan pulang.

Namun ketika tiba di rumah, ia kaget melihat keponakannya terengah-engah menahan tangis seolah ketakutan telah terjadi sesuatu. Ketika ditanya apa yang terjadi, keponakannya hanya menjawab singkat namun berulang-ulang.

"Salu dhe, Salu Dhe (Saru Dhe-red jawa/Tidak Sopan atau porno),"ucap Jumini menirukan keponakannya.

Iapun lantas mencoba menanyakan apa yang telah menimpa keponakannya tersebut. Dan keponakannyapun meceritakan apa yang terjadi dengan bahasa yang terbatas. Kagetlah Jumini mendengar penuturan keponakannya tersebut hingga keesokan harinya peristiwa tersebut dilaporkan polisi.

Pencabulan Berakhir Damai

Namun demikian, kasus tersebut akhirnya berakhir damai. Seluruh keluarga Syt telah mendatangi rumah korban untuk meminta maaf dan berharap laporan kasus pencabulan tersebut tidak diteruskan. Meskipun kesal, namun ibu korban akhirnya memaafkan Syt dan bersedia mengambil langkah damai sehingga kasus tersebut tidak diteruskan ke proses hukum.

"Adik saya (ibu korban_) merasa kasihan dengan anak-anak pelaku yang masih kecil-kecil. Di samping itu, belum terjadi pemerkosaan yang menimpa korban meski baru disentuh dan diremas-remas bagian sensitif korban. Istilahnya anak saya belum diapa-apain,"tambah Jumini.

Awalnya keponakannya tersebut merasa trauma dan malu ketika bertemu dengan orang lain selain keluarga. Sang anak cenderung menutup diri dan lebih banyak di dalam rumah. Bahkan sempat berteriak-teriak ketika pelaku datang bersama keluarganya untuk meminta maaf atas peristiwa tersebut. Ibu korban sempat membawanya ke Jakarta untuk menghilangkan trauma si korban.

Namun kini korban sudah kembali bersekolah di SLB Bogoran yang letaknya cukup jauh dari rumahnya. Korban sudah kembali ceria bahkan kadangkala bernyanyi lagu yang ia bisa. Kini agar peristiwa tersebut terulang, sang anak memang dijaga lebih ketat. Korban tidak boleh sendirian di rumah, harus ada yang menemani. Di samping itu, korban juga tidak boleh bermain terlalu jauh dengan teman-temannya.

"Dulu kalau teman-temannya naik sepeda itu, biasanya ikut. Tetapi sekarang kalau diajak pasti tidak mau,"terang dia.

Juminipun mengaku tak habis pikir mengapa orang yang awalnya sudah dianggap keluarga sendiri namun tega melakukan pencabulan terhadap keponakannya tersebut. Terlabih keponakannya tersebut juga merupakan penyandang disabilitas, ia heran mengapa Syt tega berbuat tak senonoh tersebut. Namun ia bersyukur kasus tersebut sudah selesai dan Syt sudah diusir dari tempat tinggalnya di Sawahan 1.

Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Gunungkidul Meningkat Tajam Selama Pandemi

Angka kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak di Gunungkidul mengalami peningkatan signifikan dalam dua tahun terakhir. Pandemi covid19 yang melanda kawasan ini memicu peningkatan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan.

Kepala Seksi Perlindungan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat Gunungkidul, Fajar Nugroho mengakui jika terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dari tahun 2020 ke tahun 2021. Bahkan angkanya naik sangat signifikan.

info grafis kekerasan terhadap perempuan dan anak di Gunungkidul. [Ema Rohimah / SuaraJogja.id]
info grafis kekerasan terhadap perempuan dan anak di Gunungkidul. [Ema Rohimah / SuaraJogja.id]

"Kita mencatat ada kenaikan sebesar 250 persen,"terang dia, Senin (6/12/2021).

Fajar menuturkan tahun 2020 yang lalu, kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Gunungkidul hanya sebesar 28 kasus. Namun di tahun 2021 ini, hingga akhir bulan November 2021 pihaknya mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 92 kasus.

Dari berbagai kasus kekerasan yang muncul, di tahun 2021 ini setidaknya ada 11 kasus kekerasan seksual masing-masing 4 kasus menimpa perempuan muda dan 7 kasus terhadap anak perempuan.

Pihaknya juga mencatat ada kasus kekerasan fisik yang menimpa 5 perempuan dewasa. Selain itu juga terjadi penelantaran terhadap 3 orang perempuan dan 2 orang anak laki-laki. Peningkatan signifikan ini memang menjadi sebuah keprihatinan bersama di era pandemi covid-19 ini. 

"Tetapi kenaikan ini bukan semata karena kasus. Pemberlakuan aturan terbaru dari Peraturan Menteri Perlindungan Perempuan yang menambah klasifikasi kekerasan membuat kasus meningkat tajam,"ujar dia.

Kasus Kekerasan psiskis yaitu kekerasan suara mengakibatkan depresi. Biasanya, pihaknya hanya mendapat rujukan dari RS daerah dari warga yang konsultasi kepada mereka. Namun karena kasusnya internal rumah tangga maka biasanya diserahkan ke dinas yang ia ampu. Terakhir pihaknya melakukan mediasi dari 4 rumah tangga. 

Sementara untuk kekerasan seksual, lanjut dia, paling banyak dilakukan oleh orang terdekat dan orang yang dikenal.  Terakhir pihaknya menangani kekerasan seksual terhadap seorang pelajar kelas 10 sebuah SMK Wonosari yang merupakan warga Semanu.

"Kekerasan seksual tersebut dilakukan oleh bapak tirinya," tambahnya.

Terkait umur, ia mengaku tidak mencatat secara detil karena pihaknya hanya fokus pada penanganan korban. Namun kebanyakan kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak dilakukan oleh orang yang telah dewasa atau cukup umur.

Tak Berani Melapor

Ia mengakui tak sedikit pula yang tidak berani melapor ke pemerintah ataupun Kepolisian karena mendapat ancaman atau tekanan dari pelaku sendiri. Sehingga para korban lebih memilih untuk memendam apa yang mereka alami baik secara fisik maupun mental tersebut.

Di samping itu, banyak korban belum banyak yang tahu kemana mereka harus melaporkan kekerasan yang ia terima. Kebanyakan mereka tidak tahu jika ada pendampingan apabila kasus kekerasan menimpanya.

Ia menyebut, kekerasan akibat pandemi disebabkan karena keterbatasan ruang gerak, kejenuhan di dalam rumah dan masalah ekonomi. Berbagai macam kasus kekerasan menimpa perempuan dan anak, di antaranya seperti kekerasan psikis, fisik, seksual, dan penelantaran. 

"Kasus ini saling berkaitan, kami memang fokus edukasi kepada masyarakat agar tidak merasa takut untuk melapor. Dari dua yang kami dampingi rerata pemicunya adalah masalah-masalah tersebut," ucapnya.

Sebelum sampai ke mejanya, biasanya kasus pencabulan tersebut sudah ada yang melalui proses mediasi yang dilakukan oleh pelaku, korban dengan disaksikasikan oleh keluarga korban dan tokoh masyarakat. 

Pihaknya melakukan pendampingan hingga korban benar-benar pulih secara psikis. Di samping itu, pendampingan juga dilakukan agar hak-hak korban terutama yang masih anak-anak tetap terpenuhi. Di antaranya pendidikan ataupun hal lainnya.

Pelaku Kekerasan Orang Terdekat

Terpisah, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polres Gunungkidul, Ipda Ratri Ratnawati mengatakan, di tahun 2020 terdapat 26 kasus kekerasan yang dimana korbannya ialah perempuan dan anak. Kasus ini meningkat bila dibandingkan dua tahun terakhir. 

"Pada tahun 2018 pihaknya menangani 15 kasus. Sementara pada 2019 menangani 16 kasus," terangnya.

Ratri menyebut, kekerasan terhadap perempuan dan anak paling banyak ialah kasus KDRT. Di mana selama masa pandemi covid-19 berlangsung di 2021, hingga akhir pekan kemarin sudah ada 18 kasus yang mereka tangani. Masalah ekonomi selama pandemi menjadi salah satu pemicu dari kasus kekerasan tersebut.

Ratri mengungkapkan, dari 18 kasus yang masuk selama tahun 2021 ini sudah ada sekitar 15 kasus yang mereka selesaikan dan masuk ke pengadilan. Beberapa diantaranya sudah diputus oleh Pengadilan Negeri namun ada juga yang masih menjalani proses persidangan. Sebanyak 3 kasus masih dalam proses penyidikan dan melengkapi berkas acara pemeriksaan sebelum akhirnya nanti diserahkan ke kejaksaan sebelum disidangkan di pengadilan.

Menurut Ratri sebagian besar pelaku pencabulan adalah orang dekat, kerabat jauh dan orang yang dikenal. Untuk rentang usia memang bervariasi namun biasanya paling banyak justru orang yang sudah dewasa. Seperti kasus yang terjadi di  Kapanewon Semanu di mana korban adalah pelajar berusia 16 tahun dengan pelaku ayah tiri korban. Sementara di Kapanewon Wonosari, pelaku adalah guru mengaji yang notabene sudah memiliki istri dan anak.

"kalau yang masuk ke meja kita pasti kita proses. Yang damai itu di luar ranah kita," terangnya. 

Kontributor : Julianto

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini