Pemda DIY Disebut Tak Transparan, LBH Jogja Buka Rumah Aduan bagi PKL Malioboro

rencana relokasi PKL Malioboro dinilai tak transparan dan tak memberikan ruang partisipasi masyarakat di dalamnya

Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Selasa, 11 Januari 2022 | 20:27 WIB
Pemda DIY Disebut Tak Transparan, LBH Jogja Buka Rumah Aduan bagi PKL Malioboro
Sejumlah PKL Malioboro mengisi formulir aduan terkait relokasi yang rencananya dilakukan pada Januari 2022 di Kantor LBH Kota Yogyakarta, Selasa (11/1/2022). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Penataan serta rencana relokasi PKL Malioboro masih menimbulkan polemik hingga saat ini. Relokasi yang rencananya dilakukan Januari 2022 ini dinilai tidak ada transparansi, keterbukaan dan partisipasi masyarakat dengan rencana tersebut.

Melihat ada potensi pelanggaran yang dilakukan pemerintah terhadap ribuan PKL Malioboro, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Yogyakarta membuka rumah aduan untuk para pedagang.

Divisi Penelitian LBH Kota Yogyakarta, Era Harivah menerangkan bahwa rumah aduan dibuka setiap pekan kepada para pedagang yang merasa dirugikan dengan kebijakan Pemda DIY yang disebut tergesa-gesa.

"Kebijakan ini sangat tergesa-gesa, dilihat dari kondisi saat ini yang masih dalam situasi pandemi Covid-19, dimana pedagang belum mengalami pemulihan ekonomi secara baik. Jadi kurang tepat jika PKL direlokasi saat berusaha memperbaiki perekonomiannya," ujar Era saat konferensi pers di Kantor LBH Kota Yogyakarta, Selasa (11/1/2022).

Baca Juga:Warga Brontokusuman Terancam Digusur dari Bantaran Kali Code, LBH Jogja: Peluang Diskresi

Kedua yang menjadi sorotannya adalah pola perekonomian rakyat yang sudah lama dilakukan PKL di Malioboro. Dimana akan mempengaruhi pendapatan pedagang ketika berpindah.

Era mengungkapkan selama wacana relokasi ini muncul, tidak ada pelibatan atau partisipasi masyarakat. Baik pihak yang beraktivitas di Malioboro, budayawan ataupun akademisi.

"Jadi mereka penting untuk dilibatkan. Selain itu identitas sosial budaya Malioboro bisa saja hilang. Ikon Malioboro dengan PKL yang ada di sepanjang jalan itu sudah dikenal. Bahkan besarnya nama Malioboro karena kontribusi dari pedagang, becak hingga andong yang ada di sana," kata dia.

Ia juga menyebut, bahwa urgensi dari relokasi ini harus jelas disampaikan ke publik. Sehingga tidak menimbulkan kebingungan kepada para PKL.

Satu hal lagi yang mendorong LBH memberikan wadah bagi pedagang adalah potensi pelanggaran administrasi. Seperti pelanggaran hak hidup yang diatur di dalam Pasal 28 A UUD 1945. Selain itu hak penghidupan yang layak diatur dalam Pasal 9 UU nomor 39/1999 tentang HAM.

Baca Juga:Kantor LBH Jogja Sempat Diteror, Kriminolog UGM: Fenomena Ancaman Pasti Terjadi

Adapun potensi pelanggaran standar penghidupan yang layak dimana diatur dalam Pasal 11 (1) Kovenan Ekonomi Sosial Budaya yang telah diratifikasi melalui UU nomor 11/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya.

"Maka dari itu kami mendesak agar pemerintah membuka seluas-luasnya partispasi masyarakat dalam rencana relokasi ini. Pemerintah kami desak agar menunda atau menghentikan relokasi dan meninjau ulang kebijakan itu," katanya.

Adanya potensi pelanggaran yang disebutkan Era, Pemda dan Pemkot Yogyakarta harus memperhatikan nasib pedagang ke depan.

"Harus memberi pemenuhan terhadap hak ekonomi warganya sendiri. Termasuk pemerintah harus hadir dan memberi perlindungan bagi PKL terhadap isu relokasi ini," kata Era.

Pedagang Tidak Menolak

Terpisah, Supriyati (38), pedagang Malioboro yang telah membuat aduan di LBH menuturkan bahwa pedagang tidak menolak dengan kebijakan itu. Namun sejak awal sosialisasi yang dinilai terburu-buru harus ditunda.

"Yang jelas kami meminta pemerintah transparan denhan rencana ini malah kami berharap menunda dulu, hingga kami siap mental dan finansial dulu. Kecewa rasanya setelah kami berusaha akan mengembalikan ekonomi kami, diminta segera pindah," katanya.

Supriyati mengaku sudah berjualan di utara kawasan Malioboro sejak 1967. Meski belum mendapat kepastian akan dipindah ke eks Bioskop Indra atau di bekas Kantor Dinas Pariwisata DIY atau utara kantor DPRD DIY, dirinya berharap bangunan untuk berjualan tidak bersifat sementara tapi permanen dan layak digunakan.

"Setidaknya seperti itu, yang spesifik dan pernah disodorkan pemerintah. Jadi permanen," kata dia.

Selain Supriyati, pedagang lainnya Purwandi (66) mengaku pasrah jika Januari 2022 ini akan dilakukan relokasi, meski belum ada kepastian tanggal pelaksanaannya.

"Ya kami hanya bisa pasrah, yang punya Jogja yang minta mau bagaimana lagi. Tapi kedatangan kami ke LBH ini agar pemerintah bisa mendengarkan aspirasi kami untuk menunda dulu relokasinya," harap dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini