SuaraJogja.id - Deretan foto hitam putih berjajar rapi di sepanjang lorong ruangan Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Beberapa gambar abstrak melalui jepretan kamera terpampang di setiap sudut ruangan bernuansa putih itu.
Tak sedikit karya foto unik ditampilkan dalam pameran Fotografi bertajuk Artsay. Mulai dari gambar wajah manusia yang terbalut kain hitam, gambar tangan bergandengan dengan ikatan tali merah dan beberapa karya foto yang hanya bisa dilihat dengan kacamata khusus.
Satu foto menarik perhatian dua perempuan muda di pameran yang digelar oleh mahasiswa ISI Yogyakarta, Fakultas Seni Media Rekam, Jurusan Fotografi 2019 mulai 2-6 Maret 2022 ini.
Karya foto berjudul The Other Side, Stuck With You milik Wafdan Muzadi itu menampilkan 3 foto dengan gambar wanita sedang berpose. Dua perempuan bernama Rasha dan Indah ini harus menggunakan kacamata 3 dimensi berwarna merah-biru untuk mendapatkan sensasi gambar yang lebih hidup.
Baca Juga:Taman Budaya Yogyakarta, Tempat Wisata dan Laboratorium Seni di Indonesia
"Memang lebih hidup sih fotonya, mungkin arah seninya agar lebih dekat dengan pengunjung seperti saya ini," ujar Rasha ditemui suarajogja.id di Pameran Artsay, TBY, Sabtu (5/2/2022).
Rasha, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga itu mengaku mendapat informasi adanya pameran fotografi lewat Instagram. Menurut wanita penyuka fotografi itu, sudah jarang digelar kegaitan pameran selama kasus Covid-19 terus meningkat di Kota Pelajar.
Adanya kegiatan ini memicu Rasha untuk kembali melampiaskan ekspresinya selama 2 tahun vakum berkeliling daerah mencari foto untuk koleksi feed Instagramnya.
"Ya dua tahun belum berani keluar jauh karena kondisi juga kan, adanya pameran ini setidaknya mendapat inspirasi untuk memotret lagi keluar," kata dia.
Pameran Artsay yang dikuratori oleh Kyara Fatahillah dan diketuai oleh Theodorus D'Antiochia Carelviega Christee Aloetta, tak mengambil tema spesifik. Namun lebih menunjukkan ekspresi setiap pengkarya selama Covid-19 ini menyebar di dunia.
Baca Juga:Biennale Jogja XV 2019, Ini 5 Spot Menarik di Taman Budaya Yogyakarta
"Memang tidak ada tema khusus yang kami buat. Lebih kepada ekspresi teman-teman untuk menampilkan karya selama dua tahun tidak ada pameran. Sebenarnya pameran ini juga pelampiasan karena lama tidak ada kegiatan seperti ini," kata Carel sapaannya.
Pameran yang dibuka mulai 10.00-21.00 WIB ini, memiliki sedikit tujuan kepada para pengunjung. Menurut Carel, lebih kurang 100 karya fotografi ini mengajak pengunjung memaknai sisi lain dari sebuah foto.
Seperti milik Carel, dimana foto yang ditampilkan berupa hamparan Gunung Bromo dan juga empat warga yang sedang menunggangi kuda. Tak hanya foto yang dia tampilkan, pasir Bromo dan juga aksesoris dari gunung sekitar dia sebar di depan fotonya.
"Saya ingin menunjukkan bahwa di tengah momen pembatasan ini masih ada orang yang bertahan hidup di sebuah lokasi wisata. Memang seni itu akan dimaknai dengan sudut pandang yang berbeda tiap orang. Namun dari foto saya, harapannya dapat sedikit membuka pikiran pengunjung, agar bisa merasakan satu kondisi walaupun tidak ada di lokasi itu," terang laki-laki 21 tahun ini.
Mengulas tiap karya foto akan membuka makna luas ketika dilihat oleh masing-masing orang. Bagi Carel, pameran ini jembatan bagi mahasiswa fotografi ISI mengekspresikan uneg-uneg yang mungkin belum disampaikan.
Berbeda dengan Carel, salah seorang pengkarya lainnya, Didan Nur Fisyanuari Rosadi (22) sudah sering mengikuti pameran karya seperti ini. Sejak SMK hingga menempuh pendidikan di ISI Yogyakarta, sedikitnya 3 karya yang telah dia tampilkan.
Di Artsay sendiri, mahasiswa asal Pundong, Bantul itu menampilkan gaya fotografi stencil. Dimana makna yang dia bawa adalah menyampaikan pesan dan kritikan ke setiap isu yang sedang berkembang.
"Bedanya stencil yang saya pakai adalah membuat gambar di tembok yang tidak terpakai. Ya adrenalinnya adalah ketika didatangi aparat atau warga saat proses menggambar stencil itu sebelum difoto, kalau tidak ditegur, dihapus," ujar Didan.
Mahasiswa semester 6 ini tak menampik dalam membuat karyanya kerap dituding vandalisme, bahkan dikejar pihak keamanan ketika membuat stencil di tembok. Beruntung ia belum pernah tertangkap dan masih bisa kabur.
Sayangnya gambar tersebut jadi tidak sempurna dan ditinggalkan.
"Bagi saya seni atau karya itu juga bersinggungan dengan proses membuatnya. Semakin memacu adrenalin, saya bisa menyebutnya karya," terang dia.
Didan tak hanya sendiri dalam membuat foto stencil. Dia berkolaborasi dengan street art di Jogja untuk mendapatkan karyanya.
"Jadi kolaborasi, mereka membuat gambar stencil termasuk saya, lalu saya buat video dan foto-fotonya," katanya.
Carel dan Didan tak memaksa pengunjung harus sependapat dengan hasil foto mereka. Namun memiliki hasil gambar buah dari ekspresinya yang bisa disebarkan ke khalayak luas, menjadi nilai penting untuk mendorong semangat dalam membuat karya lain.