SuaraJogja.id - Sampah plastik hingga saat ini masih jadi persoalan serius di tingkat global. Meski banyak upaya dilakukan untuk mengatasi persoalan sampah plastik, baru sekitar 10 persen sampah plastik yang bisa diolah.
Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 mencatat, limbah plastik di Indonesia mencapai 66 juta ton per tahun. Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, pada 2018 lalusekitar 0,26 juta hingga 0,59 juta ton plastik mengalir ke laut.
Indonesia pun dinobatkan sebagai negara penghasil sampah plastik laut terbesar ke dua di dunia berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jambeck pada tahun 2018.
"Sampah plastik jadi tantangan yang nyata yang sangat besar secara global meski kita mendorong agar plastik [diolah]agar masuk ke ekonomi," ujar Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Sigit Relianto selaku Co-Chair G20 di Yogyakarta, Rabu (23/03/2022).
Baca Juga:AS dan Negara Barat Pertimbangkan Cabut Keanggotaan Rusia dari G20
Karenanya, pemerintah Indonesia melalui forum G20 mendesak berbagai stakeholder, termasuk pihak swasta, untuk mempercepat pengolahan sampah plastik yang dihasilkan. Apalagi sudah ada regulasi yang mengatur pengolahan sampah plastik melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Pihak swasta penghasil sampah plastik pun harus mendesain plastik masuk dalam siklus proses produksinya. Dengan demikian tidak ada limbah diluar produksi.
Roapmap atau peta jalan pengolahan sampah pun perlu dibuat sesegera mungkin. Sebab dua tahun mendatang saat legally binding yang berlaku secara internasional diberlakukan, maka Indonesia tidak lagi ketinggalan dalam pengolahan sampah plastik.
Hingga saat ini sudah ada 323 perusahaan yang sudah melakukan Life Cycle Assement (LCA) atau pendekatan untuk menilai ayau mengevaluasi dampak lingkungan dari produk mereka. Diharapkan konsep tersebut akan diterapkan terus menerus untuk mengurangi sampah.
"Jadi perusahaan yang membuat barang harus membuat manual agar barang bisa memperbaiki produk agar tidak jadi sampah plastik. Dari desain awal juga dipikirkan ini nanti minimal plastiknya kalau ada sampahnya masih bisa digunakan untuk ekonomi lain. Artinya untuk pabrik lain," tandasnya.
Sementara Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK, Laksmi Dhewanthi mengungkapkan tiga agenda prioritas dibahas dalam G20 di DIY. Diantaranya mendukung pemulihan yang lebih berkelanjutan melalui promosi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
"Yakni dengan memaksimalkan manfaat tambahan dari program pemulihan Pasca-COVID-19 dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan," jelasnya.
Selain itu dilakukan upaya peningkatan aksi berbasis daratan dan lautan untuk mendukung perlindungan lingkungan hidup dan tujuan pengendalian perubahan iklim. Hal ini penting untuk menekankan pentingnya kontribusi ekosistem yang unik untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta ekonomi biru.
Peningkatan mobilisasi sumber daya untuk mendukung perlindungan lingkungan hidup juga dibahas. Dengan demikian pengendalian perubahan iklim bisa dilakukan bersama-sama.
"Dalam hal ini, untuk mendukung implementasi mekanisme pembiayaan yang inovatif dan mobilisasi pendanaan untuk alam, dengan melekatkan pada pentingnya dan peran sektor swasta," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi