SuaraJogja.id - Royal Ambarrukmo Yogyakarta menjadi hotel pertama di Yogyakarta yang dipercaya sebagai tempat pelaksanaan forum G20 Education Working Group Meeting pada Presidensi G20 Indonesia tahun 2022. Hal tersebut tepat mengetahui Yogyakarta tidak hanya dikenal sebagai Kota Pendidikan, namun juga sebagai pusat budaya Jawa atau yang kerap dijuluki sebagai “The Heart of Java”. Demikian disampaikan Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam X saat membacakan sambutan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Welcome Dinner kegiatan First Education Working Group Meeting G20 Indonesia 2022 di Bale Kambang, Royal Ambarrukmo Hotel, Yogyakarta pada Rabu (16/03). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI yang bekerja sama dengan Pemerintah Daerah DIY.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan selaku Chair of G20 Education Working Group Iwan Syahrir turut menyampaikan rasa terima kasih kepada Gubernur dan Wakil Gubernur serta Pemda DIY atas dukungan dan bantuan yang diterimanya.
Dalam sambutannya, Iwan Syahrir menyampaikan, “Pandemi Covid-19 memunculkan tantangan yang justru menciptakan kepemimpinan global kolektif yang lebih kuat dari sebelumnya dan G20 diharapkan hadir untuk memimpin dunia, menavigasi tantangan pandemi untuk saling bergotong-royong dan menjadi lebih kuat dari sebelumnya.”
Sebagai hotel legendaris di Yogyakarta, Royal Ambarrukmo pada kesempatan Welcome Dinner tersebut, menghadirkan ingatan dalam sentuhan keindahan karya seni kuliner dan minuman kesukaan Raja-Raja Kraton Yogyakarta yang tercipta penuh makna di era Sri Sultan Hamengku Buwono VII hingga Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang disebut Ladosan Dhahar Kembulbujana.
Baca Juga:Wisatawan Protes Diminta Bayar Mahal di Taman Sari, Begini Jawaban Keraton Yogyakarta
Tak sembarang menu yang disajikan namun para tamu delegasi G20 serta tamu Kemendikbudristek pun diajak untuk menikmati kisah dan nilai filosofi dari menu-menu yang dihadirkan saat Ladosan Dhahar Kembul Bujana ini berlangsung. Keunikan yang menjadi daya tarik tamu-tamu yang hadir pada jamuan makan malam, dimeriahkan dengan sajian tari klasik Srimpi Pandhelori yang dibawakan oleh sanggar tari Royal Ambarrukmo. Srimpi Pandhelori merupakan tari klasik Yogyakarta yang bertemakan nilai-nilai baik dan buruk dalam kehidupan manusia. Tari ini diciptakan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang berkuasa pada tahun 1877-1921.
Ladosan Dhahar Kembul Bujana merupakan tradisi makan mirip dengan tatanan fine dining. Konsep makan yang mengadaptasi dari tradisi makan ala bangsawan Kraton Yogyakarta dengan melibatkan beberapa orang untuk memberikan pelayanan secara eksklusif. Ladosan Dhahar Kembul Bujana ini memiliki arti jamuan makan bersama dengan pelayanan khusus. Mereka yang melayani jamuan ini khusus mengenakan pakaian tradisional yang identik dengan para abdi dalem asli, untuk wanita dengan mengenakan kemben dan kain jarik, sementara untuk pelayan laki-laki mengenakan busana peranakan, kain jarik, dan blangkon.
Aslinya mereka yang melayani dalam tradisi Ladosan Dhahar Kembul Bujana ini dilakukan oleh para abdi dalem di Kraton Yogyakarta, tanpa mengenakan alas kaki, dan juga mengenakan Samir yang menjadi penanda bahwa Abdi Dalem yang memakainya sedang menjalankan tugas. Royal Ambarrukmo Yogyakarta yang mengadaptasi tradisi tersebut dengan tanpa mengenakan Samir bagi para petugas yang bertugas membawa arak-arakan sajian dari Ladosan Dhahar ini, karena di Kraton Yogyakarta samir merupakan kelengkapan yang sangat penting dan tidak sembarang orang boleh memakainya. Samir berbentuk menyerupai pita atau selempang kecil dengan hiasan gombyok di kedua sisi.
Prosesi Ladosan Dhahar Kembul Bujana yang dilakukan di Royal Ambarrukmo ini dilakukan dengan perarakan yang dimulai dari dapur utama diarak memasuki Gadri atau Bale Kambang oleh tujuh petugas perempuan dan laki-laki. Sementara menu yang disajikan sangat eksklusif dalam sajian set menu dengan setidaknya sepuluh menu-menu kesukaan Raja-Raja dari era Sri Sultan Hamengkubuwono VII hingga IX, mulai dari hidangan pembuka hingga hidangan penutup. Mereka yang bertugas membawa Jodhang ini dipimpin oleh satu orang Bekel atau cucuk lampah pemimpin barisan, diikuti pembawa songsong di sebelah kiri beriringan dengan empat petugas pembawa Jodhang, dan di barisan terakhir pelayan perempuan yang bertugas nantinya bertugas menyajikan hidangan di meja tamu.
Baca Juga:Serahkan Tanah dan Air ke IKN, Gubernur DIY Ambil dari Keraton Yogyakarta