Belum Ada Payung Hukum, Pemeriksa Fakta Rentan Dapat Ancaman

Karena itu Eko berharap para pemeriksa fakta kedepan tidak hanya melakukan debunk

Galih Priatmojo
Selasa, 29 Maret 2022 | 08:15 WIB
Belum Ada Payung Hukum, Pemeriksa Fakta Rentan Dapat Ancaman
Webinar Memperkuat Kegiatan Fact Checker di Indonesia, Senin (28/03/2022). [Kontributor / Putu Ayu Palupi]

SuaraJogja.id -  Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) aktif terlibat untuk melakukan periksa fakta terhadap sebuah informasi untuk membantu masyarakat menemukan berita atau informasi yang benar. Namun kegiatan pemeriksa fakta bukan hal yang mudah.

Akibatnya banyak terjadi serangan di media digital dari orang yang tidak menyukai kegiatan periksa fakta oleh jurnalis maupun non jurnalis. Apalagi belum ada aturan atau hukum yang mengatur perlindungan terhadap pemeriksa fakta jurnalis maupun non jurnalis di Indonesia.

"Hal ini membuat pemeriksa fakta beberapa kali mendapatkan perlakuan yang kurang baik di media digital," ujar Eko Juniarto, Presidium Mafindo dalam webinar Memperkuat Kegiatan Fact Checker di Indonesia, Senin (28/03/2022).

Menurut Eko, belum adanya payung hukum untuk melindungi pemeriksa fakta, terutama masyarakat awam rentan mendapatkan diserang secara hukum oleh oknum atau instansi tertentu yang tidak senang dalam pengungkapan kebenaran.

Baca Juga:10 Fakta Menarik Piala Oscar 2022, Pemenang hingga Insiden Will Smith Tampar Chris Rock

Apalagi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memungkinkan pihak berwajib melakukan penangkapan langsung kepada masyarakat yang dianggap menggunakan pelanggaran pasal UU tersebut.

"Hukumannya itu cukup tinggi, baik denda maupun ancaman penjaranya. Polisi bisa langsung menahan orang dan itu sering disalahgunakan," tandasnya.

Karena itu Eko berharap para pemeriksa fakta kedepan tidak hanya melakukan debunk (menyanggah-red) disinformasi. Mereka juga perlu ikut berpartisipasi dalam upaya predebunk terhadap informasi yang berpotensi memunculkan misinformasi.

Diantaranya melalui kolaborasi antarpihak dalam membangun konten edukasi. Hal ini penting agar memunculkan dampak yang jauh lebih besar dalam menangkal hoaks.

"Upaya periksa fakta pun harus bekerja dengan tokoh masyarakat atau tokoh agama setempat agar dampak jangkauan konten verifikasi lebih luas," tandasnya.

Baca Juga:5 Fakta Menarik Jakarta vs Everybody, Ceritakan Kerasnya Hidup di Jakarta

Sementara Koordinator Cek Fakta, Adi Marsiela mengungkapkan ancaman digital tidak terjadi pada pemeriksa fakta atau jurnalis, tapi seluruh warga negara. Mereka juga bisa terkena ancaman kekerasan digital karena aturan hukum yang memungkinkan orang untuk melaporkan orang lain atas aktivitas di media sosial terkait kebebasan berekspresi.

"Meskipun kebebasan berekspresi itu secara Undang-Undang sudah menjadi hak kita sebagai warga negara, karena diaturnya pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar, namun selama masih ada aturan di KUHP, seperti pencemaran nama baik, kemudian ada juga aturan di Undang-Undang ITE, itu akan tetap menjadi ancaman buat kita semua
yang ada di Indonesia," tandasnya.

Untuk itu perlu adanya usaha meningkatkan perlindungan terhadap pemeriksa fakta di Indonesia. Selain itu penyeragaman prosedur kegiatan periksa fakta baik dari jurnalis dan non jurnalis yang di dalamnya memberikan panduan alur kerja cek fakta.

"Termasuk di dalamnya pembuatan konten periksa fakta yang ramah terhadap disabilitas," imbuhnya. 

Kontributor : Putu Ayu Palupi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini