Terkait penanganan kasus dengan penyelesaian diversi, dari 40 kasus yang ada di Kabupaten Sleman pada 2022 tadi, sebanyak 17 di antaranya diselesaikan dengan diversi. Sedangkan 23 kasus lainnya diselesaikan lewat persidangan.
Ia tidak memungkiri, ada syarat khusus bagi seorang anak yang berurusan dengan hukum, untuk menerima diversi. Misalnya, ancaman hukum di bawah tujuh tahun dan yang bersangkutan sebelumnya belum pernah melakukan kejahatan hingga ia berurusan dengan hukum.
"Itu tadi kenapa saya minta ada FGD (diskusi terpumpun), karena belum ada satu kesepahaman. Ada yang menginformasikan bahwa Perma (Peraturan Mahkamah Agung) itu hanya mengikat hakim tapi tidak dengan Pengadilan. Tapi ada juga yang mengatakan itu [Perma] mengikat ke semua APH, jadi jaksa bisa menerapkan," tuturnya.
Yanti mengingat-ingat, ada satu kasus kejahatan jalanan oleh anak di bawah umur pernah ia tangani. Korbannya kala itu menderita luka berat.
Dirinya bersama Bapas dan penyidik sudah lanjut ke tahap berikutnya, menuju proses persidangan. Namun ketika dilimpahkan ke Kejaksaan, jaksa memutuskan untuk diversi.
"Sayangnya terkadang karena ada kesepakatan harga, uang tali asih terpenuhi, itu permintaan korban, jadi lolos ke diversi," terangnya.
Lewat adanya diskusi terpumpun tadi, ia berharap ada kesamaan persepsi di antara APH. Kalau memang ancaman hukuman atas pelanggaran yang dilakukan anak itu waktunya tujuh tahun ke atas, tidak bisa diversi.
"Dikembalikan lagi ke ruh SPPA, UU Sistem Peradilan Pidana Anak No.11/2012. Yang diversi ya yang di bawah tujuh tahun saja," ucapnya.
Ia juga berharap ada peninjauan ulang atas Perma, Perja (Peraturan Kejaksaan), Perka (Peraturan Kapolri). Ketika semua peraturan itu sudah sesuai penjabarannya atas penerapan diversi, silakan digunakan seperti biasa.
Baca Juga:Kembali Marak Kejahatan Jalanan, Dispar DIY Sebut Berpotensi Rugikan Sektor Pariwisata
"Kalau belum sesuai, ya mari kita kembalikan lagi ke ruh SPPA," ajak Yanti.