Kejahatan Anak di Bawah Umur di Jogja Meningkat Tajam Pada 2022, Bapas: APH Belum Satu Kesepahaman

Jumlah peningkatan kasus yang ditangani oleh Bapas Kelas I Yogyakarta meningkat signifikan.

Eleonora PEW
Jum'at, 08 April 2022 | 09:49 WIB
Kejahatan Anak di Bawah Umur di Jogja Meningkat Tajam Pada 2022, Bapas: APH Belum Satu Kesepahaman
Ilustrasi klitih - (Suara.com/Iqbal Asaputro)

SuaraJogja.id - Kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur masih kerap terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pihak Balai Pemasyarakatan Kelas I Yogyakarta menilai, belum ada satu kesepahaman di antara aparat penegak hukum (APH).

Hal itu disampaikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Madya Bapas Kelas I Yogyakarta Sri Akhadiyanti, dalam Rakor Kelompok Kerja Pendukung Satuan Tugas Kejahatan Jalanan Kabupaten Sleman, Kamis (7/4/2022).

Yanti mengungkap, dalam data kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur, milik Bapas, diketahui jumlah peningkatan kasus yang ditangani oleh Bapas Kelas I Yogyakarta meningkat signifikan.

"Pada 2020 ada sebanyak 17 kasus, pada 2021 tercatat 42 kasus. Pada 2022 baru sampai April berjalan sudah ada 40 kasus. Didominasi kasus kejahatan jalanan, sajam," ujarnya, di tengah rakor.

Baca Juga:Anies Baswedan Diteriaki Calon Presiden, Baby Margaretha Menyesal Tak Pakai Cincin Nikah

Di antara 40 perkara pada 2022 itu, sebanyak 17 ditangani melalui diversi, 23 dilakukan persidangan.

Menurut kajian dan penelitian dari Bapas, diketahui bahwa masih ada kendala dalam penegakan hukum bagi pelaku kejahatan jalanan di bawah umur, di Kabupaten Sleman.

Kendalanya yakni belum ada kesamaan pemahaman penyelesaian perkara anak, terutama kejahatan jalanan, spesifik di antara APH.

"Kalau bisa ada FGD khusus bagi APH, membahas soal kejahatan jalanan. Melibatkan Polisi, Kejaksaan, Pengadilan, Bapas yang merupakan bagian dari APH," terangnya.

Di dalam rakor itu, pihaknya menyampaikan ketidaksetujuan atas penerapan diversi bagi pelaku kejahatan jalanan usia di bawah umur, ketika tindakan itu menyebabkan korban menderita luka berat. Dan atau kejahatan yang dilakukan anak-anak, yang di dalam undang-undang masa hukumannya di atas tujuh tahun.

Baca Juga:Viral Pelaku Klitih Dijenguk Temannya, Netizen: Gak Wafat Sekalian ?

Yanti mengatakan, masalah yang muncul selama ini manakala perkara dilimpahkan ke Kejaksaan, berdasarkan Perma berlaku, maka perkara selanjutnya diajukan menjadi diversi.

Sehingga Yanti berharap, antara penyidik Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Bapas harus ada satu pemahaman dan kesepakatan yang sama.

"Kalau korban meninggal dunia, luka berat jangan diversi. Kalau meninggal dunia kan memang tidak bisa diversi, tetapi ketika korban mengalami luka berat, sampai di Kejaksaan itu berubah jadi diversi. Jadi [alangkah lebih baik] ada kesamaan pola, kalau kejahatan jalanan jangan diversi. Kecuali luka ringan," tegasnya.

Yanti menyatakan, setiap menangani kasus, Bapas melakukan penelitian dan mempelajari latar belakang kenapa para pelaku kejahatan jalanan bisa melakukan hal sadis.

"Mereka biasanya berangkat dari geng, baik sekolah maupun luar sekolah.Ada yang sifatnya gaya geng perploncoan, jadi dalam plonconya itu mereka harus sampai melukai, untuk masuk geng," tuturnya.

Yanti juga berharap, saat berpatroli, jajaran Kepolisian merazia sajam di titik-titik tertentu.

Pasalnya menurutnya, biasanya anak-anak geng luar sekolah berkumpul di warmindo dan angkringan.

"Tolong intai tempat mangkal mereka, ada dari mereka yang menyimpan sajam di tempat mangkal. Razia bisa diarahkan ke sana," kata Yanti.

Selain itu, ia mendorong Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman untuk bisa memasukkan kembali mata pelajaran Budi Pekerti.

Walau tidak dimasukkan kurikulum, tapi bisa disampaikan saat perkenalan awal masuk sekolah. Tujuannya agar anak-anak atau siswa tidak ikutan masuk geng, hingga berujung kejahatan jalanan.

Kepala Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja Sleman Baried Wibawa menuturkan, dari data yang dimiliki pihaknya, diketahui sebanyak 80%-85% pelakunya berasal dari anggota geng sekolah.

"Mereka lakukan aktivitas di luar kontrol sehingga kekerasan itu sebagai pelampiasan. Ada juga yang berada di bawah pengaruh minuman keras, narkoba," ujarnya.

Permasalahan hulu anak-anak sampai mereka melakukan kekerasan, sekitar 90% berasal dari masalah keluarga.

"Paling tidak komunikasi tidak berjalan baik di keluarga, broken home mendominasi. Misalnya ibu TKW, ayah kerja di mana," tuturnya.

"Jadi anak tinggal dengan saudara, kolega, mbah, tak ada pengasuhan baik dari keluarga, sehingga mereka masuk geng dan melakukan hal menyimpang dari norma," terang Baried.

Kontributor : Uli Febriarni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini