SuaraJogja.id - Sebanyak 340 pedagang asongan yang berjualan di zona 2 kompleks Candi Borobudur mengaku digusur sehingga tak boleh beraktivitas lagi di area tersebut. Ratusan pedagang yang tergabung dalam 14 komoditas itu merasa ada perlakuan diskriminatif dari manajemen.
Serikat Pekerja Pariwisata Borobudur Wito Prasetyo menjelaskan ratusan pedagang yang berjualan tepatnya di Museum Karmawibhangga itu terus menerus digeser. Hingga puncaknya mereka tak boleh lagi berjualan di area tersebut.
"Dalam rentan waktu bertahun-tahun itu sudah mulai digeser-geser sampai pada titik depan museum ini. Sudah ada pergeseran pun pedagang sudah mengikuti aturan nurut ikut. Di saat di sini posisi terakhir di belakang ini juga dilarang, tidak diperbolehkan (berjualan)," kata Wito kepada awak media di Kantor LBH Yogyakarta, Rabu (15/6/2022).
Disampaikan Wito, para pedagang bukan tanpa perjuangan. Mereka sudah mencoba untuk berkoordinasi atau konfirmasi secara internal dengan manajemen.
Baca Juga:Candi Borobudur Dipilih jadi Lokasi World Premiere G20 Orchestra September Nanti
Namun hingga saat ini belum ada tanggapan yang pasti. Sehingga selalu mengambang dan bahkan memang tidak ada kepastian sama sekali.
"Rencananya mau dimasukkan ke area parkir. Nah parkir ini juga sudah ada kelompok asongan lagi pedagang-pedagang lain dan tentu ini juga akan berbenturan dengan sini. Maka itu harus bertahan tetap jualan di sini (depan museum)," jelasnya.
Ia meminta kepada pihak manajemen untuk tidak serta merta melimpahkan kesalahan kepada pedagang asongan. Apalagi hingga mengkambinghitamkan dengan sejumlah pihak lainnya.
"Kalau ada kesalahan atau kekurangan ini jangan asongan yang dikambinghitamkan, yang disalah-salahkan wong asongan juga bisa diatur suruh tertib ikut tertib," terangnya.
Menurutnya ketidakberesan atau kesalahan itu ada di pihak manajemen itu sendiri. Mulai dari cara mengatur hingga penyelesaian masalah bagi para pedagang asongan ini sendiri.
Baca Juga:Sempat Diunggah Roy Suryo, Pembuat Foto Stupa Borobudur Mirip Jokowi Diusut Polisi
"Ini kan menyangkut manajemen bukan asongannya yang di salah-salah terus, selalu dikatakan tidak baik, bikin semrawut, yang bisa bikin semrawut dan tidak kan manajemennya. Bukan orangnya, nek orangnya kan segala apapun kalau ada aturan kemudian ada pengawasan bisa tertib," paparnya.
Perlakuan diskriminatif itu, kata Wito, terlihat juga ketika pedagang asongan yang tidak diperbolehkan beraktivitas di area itu. Namun justru ada stan-stan lain produk komersil yang ada di sana.
Jangan sekali-kali mengkambinghitamkan asongan di manapun bahkan di seluruh Indonesia karena asongan juga manusia mengais rezeki secara halal tapi yang harus intropeksi terhadap tata kelola atau manajemennya itu.
"Jadi yang di zona dalam itu bukan hanya asongan, tapi ada kegiatan komersial yang lain dan itu entah siapa yang izinkan, tentu manajemen kan. Nah ini, sehingga kenapa asongan harus tidak boleh, kan diskriminatif. Ini harus kita lihat kembali," ungkapnya.
Sementara itu, salah satu pedagang patung dan perunggu di Borobudur, Kodiran (48) mengaku telah berjualan di sana sejak dirinya masih kecil. Sehingga bukan tanpa alasan, ia merasa keberatan dengan kebijakan PT TWC melarang kegiatan berjualan para pedagang asongan itu.
"Kalau kami diusir nggak boleh (jualan), kenapa justru dari pihak PT di dalam banyak komersial-komersial yang jualannya persis seperti saya," kata Kodiran.
Padahal para pedagang asongan di sana pun sudah selalu menaati aturan yang diterapkan. Sehingga ia sangat menyayangkan keputusan tersebut.