Respons Kenaikan Harga BBM, Pengamat Soroti Minimnya Transportasi Publik dan Kebiasaan Boros Energi

Ketidaktersediaan transportasi publik yang terintegrasi dengan baik itu membuat banyak orang memilih menggunakan kendaraan pribadi.

Eleonora PEW | Hiskia Andika Weadcaksana
Minggu, 04 September 2022 | 13:30 WIB
Respons Kenaikan Harga BBM, Pengamat Soroti Minimnya Transportasi Publik dan Kebiasaan Boros Energi
[ILUSTRASI] Situasi antrean kendaraan yang normal cenderung lengang, saat malam hari, di salah satu SPBU di Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, usai dinaikkannya harga BBM oleh pemerintah, Sabtu (3/9/2022). [Kontributor Suarajogj.id/ Uli Febriani]

SuaraJogja.id - Pakar kebijakan publik UGM Wahyudi Kumorotomo menyoroti minimnya ketersediaan transportasi publik yang memadai untuk masyarakat. Hal itu dinilai makin menyusahkan mengingat harga bahan bakar minyak (BBM) yang telah resmi dinaikkan pemerintah.

Ketidaktersediaan transportasi publik yang terintegrasi dengan baik itu membuat banyak orang memilih menggunakan kendaraan pribadi. Hingga kemudian berujung pada borosnya energi yang digunakan setiap waktunya.

"Masyarakat bisa dibiasakan sebenarnya untuk menggunakan transportasi publik apabila tersedia. Tapi masalahnya karena ketidaktersediaan transportasi publik, kita kemudian terbiasa dengan transportasi pribadi yang itu sangat-sangat boros energi kita," kata Wahyudi saat dihubungi awak media, Minggu (4/9/2022).

Borosnya masyarakat menggunakan energi itu bisa dilihat dari penggunaan kendaraan pribadi sehari-hari. Terlebih di kota-kota besar yang mereka masih harus berjuang dengan kemacetan jalan.

Baca Juga:Hanya Pikirkan Orientasi Jangka Pendek, Pemerintah Dinilai Tergesa-gesa Naikkan Harga BBM

"Coba di Jakarta, di Jogja, karena transportasi publik, bus, kereta tidak diutamakan. Orang terpaksa menggunakan kendaraan pribadi dan itu menambah lagi konsumsi BBM," ucapnya.

"Lalu dimana-dimana yang kita bangun jalan tol padahal yang kita butuhkan sebenarnya adalah transportasi publik. Entah itu bus yang muatanya banyak, LRT atau MRT dan lainnya," imbuhnya.

Wahyudi menyarankan bahwa pemerintah harus melihat bahwa proporsi transportasi publik itu perlu diupayakan untuk ditambah. Sehingga dapat mengurangi penggunaan BBM untuk kendaraan pribadi.

"Seperti kita ketahui di Jakarta saja sampai dengan tahun 2012 sebelum kita krisis energi seperti sekarang ini, transportasi publik itu hanya 28 persen. S3mentara yang transportasi pribadi atau kendaraan pribadi itu 34 persen, lainnya yang lain-lain," terangnya.

Padahal, kata Wahyudi, dibandingkan dengan Seoul misalnya di sana transportasi publik sudah berada di angka 55 persen. Hanya sekitar 24 persen saja yang menggunakan kendaraan pribadi.

Baca Juga:Harga BBM Naik, Ekonom Sebut Laju Inflasi 2022 Bisa Mencapai 6-7 Persen

Selain dari sisi pemerintah, masyarakat juga perlu dibiasakan untuk memanfaatkan transportasi publik dalam aktivitasnya sehari-hari. Selain lebih menyehatkan karena sering bergerak, penggunaan BBM bisa lebih ditekan.

"Usia orang Jepang itu panjang karena terbiasa exercise. Tidak seperti yang kita lihat di Indonesia, orang kemudian tergantung semuanya pada transportasi pribadi dalam hal ini sepeda motor dan mobil. Untuk jalan 200 meter aja enggak mau, harus kemudian naik sepeda motor. Padahal sebenarnya lebih sehat naik sepeda kan," tuturnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini