SuaraJogja.id - Sejurus dengan menjamurnya kedai-kedai kopi, intensitas menyesap minuman yang bermuasal dari Ethiopia itu kian marak.
Di wilayah DIY dan sekitarnya, lidah para pecinta kopi sudah tak asing dengan kopi Temanggung, Kawisari, Andungsari, Jampit hingga kopi merapi.
Tapi di balik kenikmatan menyeruput secangkir kopi, nasib tanaman yang dalam catatan sejarah didatangkan oleh penggede Kolonial Belanda itu tengah dihadapkan pada tantangan besar nan nyata.
Hal itu seperti yang diungkapkan para petani yang membudidayakan tanaman kopi merapi di kawasan lereng Gunung Merapi di wilayah Sleman.
Erupsi atau yang akrab di masyarakat DIY disebut sebagai wedhus gembel pada 2010 silam menjadi titik balik produksi kopi merapi. Amukan wedhus gembel pada tahun itu, membakar habis ratusan Hektare (Ha) perkebunan kopi.
Kepala Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan (DP3) Sleman Suparmono mengungkap, circa 2010 luas tanaman kopi populasinya sangat berkurang karena erupsi.
Data DP3 pada 2009, luas panen kopi robusta Kabupaten Sleman mencapai sekitar 101,90 Ha dengan produksi 336,65 Kw. Sedangkan luas panen kopi arabika seluas 55 Ha memiliki angka produksi sekitar 185,50 Kw.
"Setelah erupsi, penanaman kembali mulai dilakukan pada 2012," kata Suparmono.
Eks Panewu Cangkringan ini menyebut, dari sisa tanaman yang ada, masih terdapat poduksi kopi tapi belum besar. Seperti misalnya pada 2013, luas panen kopi robusta seluas 59,55 Ha dengan produksi sekitar 255,37 kw dan kopi arabika luas panen 27,90 Ha menghasilkan produksi sekitar 93,70 Kw.
Baca Juga:Terus Turun Drastis, Produksi Garam Rakyat Terganggu Perubahan Iklim
"Proses selanjutnya, secara bertahap, dimulai sejak 2012 dilakukan penambahan populasi. Sampai saat ini data populasi baik arabica maupun robusta seperti dalam data 2021, luas lahan kopi arabika 36,6 Ha dengan produksi 17.802,8 Kg dan luas lahan kopi robusta sebesar 217,95 Ha, angka produksi 67.236 Kg," sebutnya, mengutip catatan data yang dimiliki DP3.
Erupsi, menurut DP3, tak hanya meluluhlantakkan perkebunan tetapi dampaknya juga turut memengaruhi kualitas kopi karena biji kopi terkena debu dan uap panas. Penampakan kopi banyak yang hitam dan tanaman banyak yang rusak.
Sumarno: Lereng Merapi Kini Terasa Lebih Panas
Sementara itu, kala dikonfirmasi secara terpisah terkait kondisi pertanian kopi yang digeluti masyarakat lereng Merapi, salah satu petani kopi setempat, Sumarno memaparkan sejumlah fakta.
Sumarno merupakan petani kopi lereng Merapi yang berada di Padukuhan Gading, Kalurahan Glagaharjo, Kapanewon Cangkringan. Bagi beberapa orang, Gading yang berada di kisaran 700-800 mdpl merupakan kawasan yang sejuk.
Pemilik rambut ikal pendek ini mengungkap, Gading merupakan salah satu area yang terdampak erupsi Gunung Merapi pada 2010. Sejumlah lahan kopi di tempat tersebut habis diterjang awan panas atau wedhus gembel. Ia mengingat, sebelum ada erupsi, panen kopi dapat dikatakan optimal. Namun semua berubah pascabencana, suhu udara setempat naik drastis sekitar 25%, Gading yang awalnya sejuk menjadi terasa lebih panas.
"Selang waktu kemudian, Dinas Pertanian, pemerintah dan instansi menggerakkan penegakan kopi kembali, tapi pada kenyataannya tanaman kopi yang ditanam setelah erupsi itu sangat sulit dalam perkembangan," tutur pemilik Ndelik Kopi ini, kala ditemui Suara.com, pekan lalu.
Hal itu dikarenakan humus dalam tanah yang belum berproduksi kembali, usai terpapar material vulkanik. Ia menduga kondisi tanah pascaerupsi masih belum sepenuhnya netral untuk tanaman kopi, luar dan dalam. Tanah sulit menyerap air. Kalaupun ada air yang disiramkan ke atas tanah, entah itu disiram sengaja maupun hujan, maka air sukar meresap ke dalam tanah.
"Hanya mengalir atau hanya tergenang. Kalau ada musim kemarau panjang atau agak lama, tidak ada hujan, butuh waktu lama untuk air meresap dan menembus ke dalam tanah. Terkadang, sudah berbulan-bulan kemudian tanah itu kita gali, di dalamnya masih kering," sebutnya.
Tanah di Gading yang berpasir dan berhumus sebetulnya baik untuk menjadi media tanam kopi. Apalagi petani kopi di daerah itu kerap memberi pupuk organik, --dalam hal ini pupuk kandang-- ke lahan mereka. Namun pascaerupsi, walau sudah ada upaya pembenahan namun kualitas belum sebaik dahulu, sebelum erupsi melanda kediamannya.
"Belum tentu bila saat ini ditanam dia akan hidup, kalau dulu mudah sekali, ditanam langsung tumbuh," terangnya.
Di kesempatan itu Sumarno bahkan mengiyakan sebuah kalimat perumpamaan, bahwa bila petani menanam 10 bibit pohon, maka di masa kekinian belum tentu 10 bibit itu bisa tumbuh dengan baik, bahkan mati. Sedangkan di masa sebelumnya, dengan jumlah bibit yang sama, sebagian besar bibit bisa tumbuh sampai menghasilkan biji kopi pilihan.
"Yang jelas kondisi tanahnya memang buruk sekali, mungkin masih banyak kandungan vulkanik yang tertimbun. Banyak yang belum netral, walau itu sudah diantisipasi dengan pemupukan dengan optimal," tambahnya.
Terdampak Perubahan Iklim
Pada perjalanannya, tantangan bertanam kopi yang dihadapi Sumarno dan petani lain di lereng Merapi bukan hanya kondisi tanah pascaerupsi. Melainkan juga perubahan iklim sekitar.
"Kalau itu berpengaruh secara pasti, itu saya tidak tahu dengan pasti karena saya bukan ilmuwan. Tapi yang jelas pascaerupsi mulai terjadi, ada musim tidak menentu, seperti itu yang dialami. Entah pengaruh pemanasan global atau tidak saya tidak tahu. Lalu dari kondisi itu, misalnya seharusnya panas, kemarau tapi belum kemarau," ungkapnya, ditemui akhir Agustus 2022.
Demikian juga sebaliknya, ketika sudah waktunya kemarau, justru masih sering turun hujan. Bahkan udara harian cenderung panas.
"Kalau sekitar sini, dulu sebelumnya dingin, dalam artian ya tidak sepanas ini. Walaupun ada 'orang bawah' ke sini, di sini dirasanya masih adem (dingin), padahal orang sini merasakan sudah panas," ucapnya.
Mulai bertanam sejak tahun 2000, Sumarno memerhatikan betul kondisi alam yang melingkupi perkebunan kopi miliknya, yang luasnya lebih kurang 2.500 meter. Menurut dia, hasil panen kopi saat ini turun sampai 50 persen dari total produksi yang dulu dicapai, sebelum erupsi dan perubahan iklim menghantam wilayah tersebut.
"Per batang paling tidak menghasilkan 10 Kg [petik merah] saat panen, sekarang paling mentok 8 Kg, 7 Kg," ungkapnya.
"Kalau paling banyak hanya tahun kemarin (2021), per batang menghasilkan 8,5 Kg," sebut Marno, kala ditanya panen terbanyak selama lima tahun terakhir.
Normalnya, kalau jadwal musim berjalan sebagaimana mestinya, saat ini kopi memasuki puncak masa panen.
"Dalam artian waktunya hujan ya hujan, waktunya kemarau ya kemarau, kopi paling tidak panen mulai Mei. Mei [kopi] arabika mulai panen, disusul robusta, puncaknya Agustus. [Sekarang ini] masih panen tapi tahun ini kurang, ada yang buahnya di batang, ada yang dijemur," lanjut Sekretaris Koperasi Kebun Makmur ini.
Kala ditanya apakah berjalannya musim saat ini masih sesuai tidaknya dengan situasi masa sebelum ini, Marno tak menampiknya.
"Cuma....., keseragaman tidak seragam, satu batang itu ada yang saat ini masih yang hijau masih merah, sudah disusul bunga. Kenapa berbunga? karena ini waktunya belum hujan tapi ini sudah hujan," imbuh dia.
Menghadapi efek erupsi dan perubahan iklim, petani di sekitar lereng merapi tak pasrah begitu saja. Mereka ambil sejumlah langkah seperti pemupukan dan pemangkasan.
Produksi Kopi Merapi Anjlok hingga 50 Persen
Selain Sumarno, ada Sumijo yang turut membagikan pasang-surut pertanian kopi lereng Merapi. Juragan Warung Kopi Merapi ini bukan hanya sekadar penjual kopi, pebisnis kedai, melainkan juga petani kopi yang turun-temurun membudidaya kopi di kebung Petung, Kepuharjo, Kapanewon Cangkringan, sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.
"Awalnya di Sleman ada lahan kopi seluas 850 Ha, kemudian karena erupsi Merapi 2010 bisa dibilang 90 persen lebih [tanaman kopi] habis dan tinggal 50 Ha," ujarnya mengingat-ingat.
Kemudian, sekitar dua tahun kemudian, ada penanaman kembali lahan yang dilakukan oleh petani setempat bersama pemerintah. Hingga kemudian diperkirakan kini ada 250 Ha lahan kopi se-Kabupaten Sleman.
"Luasan tersebut katakan se-Kabupaten Sleman, karena kita bicaranya lereng Merapi di Kabupaten Sleman. Ada Cangkringan, Pakem, Turi," ungkapnya.
Lahan kopi di wilayah Kapanewon Pakem ada di kawasan di Kaliurang dan Turgo. Lahan di Cangkringan ada di Petung, Gading, Pentingsari dan beberapa titik lainnya.
"Saya memperkirakan ada lahan kopi di Tempel juga," ucapnya.
Sumijo yang kini berusia 47 tahun itu mengatakan, pada prinsipnya kopi bisa tumbuh di semua tempat asal ada pohon naungannya. Hanya memang, nanti di masing-masing tempat akan menghasilkan kopi dengan karakter berbeda.
Ketua Koperasi Kebun Makmur ini mengaku, jumlah hasil kopi pascaerupsi menurut sangat jauh. Namun dari segi rasa dan kualitas kopi, ia belum mengujinya secara detail. Ditambah lagi saat ini, kondisi lahan kopi yang sudah kembali rimbun dengan pohon naungan yang lebat, diperkirakan membantu kualitas kopi Merapi membaik waktu ke waktu.
Sumijo menyebut, perubahan iklim ekstrem juga diduga memengaruhi kopi yang ditanam di lereng Merapi. Tak hanya Merapi sebetulnya, melainkan keseluruhan perkebunan kopi di Indonesia.
"Ini kan musim bisa dibilang kemarau basah, jadi seharusnya kemarau tapi kan curah hujan tinggi. Banyak kopi yang 'tidak jadi', termasuk di Kabupaten Sleman, prediksi terjadi penurunan panen kopi banyak," kata dia.
"Ini belum selesai panen, tapi lihat dari kondisi kebun, prediksinya turun sekitar 50 persen. [Bentuk kegagalan] dari bunga banyak yang tidak jadi kopi, perkiraan saya. Saya belum lama bersilaturahim ke Kulon Progo, kebun kopi di sana juga mengalami hal sama, penurunan produksi," bebernya.
Dengan demikian, menurut dia jelas bahwa perubahan iklim dan berjalannya musim yang tak lagi setepat dahulu, jadi biang penyebab menurunnya jumlah panen kebun kopi.
"Kalau sementara ini kan lihatnya dari kebun, buah tidak selebat dulu," tutur bapak empat anak ini.
Kontributor : Uli Febriarni