Harga BBM Indonesia Naik Saat Minyak Dunia Turun, Pengamat UMY: Kebijakan Itu Melukai Hati Rakyat

keputusan pemerintah menaikkan harga BBM di kala harga minyak dunia sedang anjlok, sangat tidak tepat.

Galih Priatmojo
Jum'at, 09 September 2022 | 13:45 WIB
Harga BBM Indonesia Naik Saat Minyak Dunia Turun, Pengamat UMY: Kebijakan Itu Melukai Hati Rakyat
Ilustrasi kenaikan harga BBM per Sabtu 3 September 2022. [Suara.com/Rochmat]

SuaraJogja.id - Harga minyak dunia dilaporkan turun. Minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, ditutup pada harga USD88 per barel, jatuh di bawah USD90 per barel untuk kali pertama sejak 8 Februari.

Sementara bersamaan dengan penurunan tersebut, di Indonesia, pemerintah baru saja menaikkan harga BBM bersubsidi yang berlaku per tanggal 3 September 2022 pukul 14.30 WIB. Situasi ini memunculkan pesimisme dari sejumlah pihak, salah satunya ekonom dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Lilies Setiartiti.

Ilustrasi BBM naik. [Suara.com/Ema Rohimah]
Ilustrasi BBM naik. [Suara.com/Ema Rohimah]

Lilies mengungkap, kebijakan ini dilandasi oleh argumen pemerintah bahwa anggaran subsidi dan komparasi BBM 2022 telah meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun jadi Rp502,4 triliun dan akan meningkat terus. Sementara, lebih dari 70% subsidi dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu yaitu pemilik mobil pribadi.

Lilies menyebut, kebijakan ini tidak beralasan. Menurutnya ada harga yang harus dibayar pemerintah atas penerapan kebijakan menaikkan harga BBM ini, yang tidak saja pada ranah ekonomi, tetapi juga sosial.

Baca Juga:Massa Ojol dan Mahasiswa Bakal Demo Tolak Kenaikan Harga BBM Lagi Hari Ini, Ribuan Polisi Disiagakan di 3 Lokasi

"Pada ranah ekonomi, kenaikan harga BBM akan mendorong secara signifikan pada laju inflasi. Karena kenaikan ini juga sekaligus mendongkrak naiknya harga komoditas kebutuhan pokok dan kebutuhan hidup lainnya," ungkapnya, Jumat (9/9/2022). 

Padahal, daya beli masyarakat baru saja merangkak pulih akibat pandemi Covid-19, sehingga kenaikkan harga BBM akan memberatkan dompet masyarakat di mana akhirnya konsumsi masyarakat akan menurun.

Kenaikan harga pada kelompok kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya dipicu oleh kenaikan biaya transportasi yang merupakan sektor paling banyak menggunakan BBM dalam proses produksinya. Sehingga meningkatkan biaya distribusi barang dan jasa.

"Saya pesimis pemerintah akan bisa sukses dengan pembatasan pembelian BBM jenis Pertalite. Konsumen pasti akan pilih Pertalite karena selisih harga antara Pertalite dan Pertamax cukup tinggi lebih dari Rp4.000 per liter. Kebocoran solar angkanya juga akan tinggi, karena perbedaan harga yang tinggi di sektor industri," terangnya.

Di ranah sosial atau non ekonomi, efek kenaikkan harga BBM ini tampaknya akan masif dan sulit untuk dikendalikan karena akan bergulir secara liar. Di tengah kehidupan yang sulit lantaran pandemi, dimana tidak sedikit masyarakat kehilangan pekerjaan, usaha merugi bahkan tutup, pemerintah justru membuat kebijakan menaikkan harga BBM yang akan makin mempersulit hidup.

Baca Juga:Soal Tarif Baru Angkot Pasca BBM Naik, Ini Kata Sekda Depok

Di sisi lain, pemerintah juga tetap kekeuh untuk terus mewujudkan IKN dan proyek Kereta Api Cepat dengan biaya sangat fantastis, yang akhirnya akan dibiayai melalui APBN. Yang sebagian justru diambil dari pengurangan subsidi BBM ini.

"Artinya, pemerintah tidak mau berkorban, tetapi rakyat yang harus berkorban. Kebijakan ini tentunya akan makin melukai hati rakyat. Jadi, kenaikan harga BBM ini bisa menjadi pemantik bagi potensi terjadinya ketidakstabilan sosial, politik, keamanan, sampai ranah kerentanan sosial," tuturnya.

Ambisi pemerintah untuk melanjutkan proyek-proyek rakus luar biasa. IKN dan Kereta Api Cepat yang sejatinya sama sekali tidak ada urgensinya. 

"Ini yang membebani APBN sebenarnya, juga beban bayar bunga utang yang angkanya mencapai Rp400-an triliun per tahun," tambahnya.

Kondisi ini, selanjutnya bisa dimaklumi menjadi momentum di seluruh elemen masyarakat untuk protes kepada pemerintah dalam bentuk demonstrasi yang sudah terjadi di sebagian besar daerah di Indonesia, baik dilakukan oleh mahasiswa, kelompok buruh,maupun elemen masyarakat lainnya, untuk menagih janji pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat. 

"Menurut hemat saya, bukan subsidi BBM yang memberatkan APBN, melainkan pembayaran bunga utang, proyek tidak masuk akal dan tidak ada urgensinya yaitu IKN dan Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung. Bahkan proyek KAC Jakarta-Bandung dari aspek apapun menurut kajian tidak layak, tetapi pemerintah tetap kekeuh untuk melanjutkannya, bahkan dibiyai dengan APBN," ujarnya. 

"Ini artinya akan dibiayai oleh rakyat, sementara rakyat tidak membutuhkan KAC dan IKN. Rakyat butuh harga kebutuhan pokok murah. Jika APBN ingin sehat, maka hentikan proyek IKN dan Kereta Api Cepat," imbuh Lilies.

BLT Turun Tepat Setelah Harga BBM Naik? Lilies Soroti Ini

Disinggung soal BLT sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM, Lilies menilai, turunnya BLT sebenarnya tidak masalah. Karena BLT setidaknya bisa menjadi jaring penyelamat bagi masyarakat miskin. 

"Tapi harus berbasis pada data yang akurat, harus dibangun pula prinsip keadilan. Sehingga beban masyarakat miskin, sebagai kelompok paling terdampak atas kebijakan kenaikan harga BBM ini akan berkurang. Yang jadi masalah selama ini adalah data yang tidak sesuai sasaran, bahkan banyak yang dobel," tegasnya. 

Ke depan, mestinya pemerintah bekerja sesuai perintah konstitusi, menyejahterakan rakyat, harus fokus pada pembangunan ekonomi yang benar-benar untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. 

Infografis riwayat kenaikan harga BBM di era Jokowi. [Suara.com/Ema Rohimah]
Infografis riwayat kenaikan harga BBM di era Jokowi. [Suara.com/Ema Rohimah]

Sekarang kita sering dapat argumen dari pemerintah, alasan kenaikan harga BBM karena paling murah, di Singapura Pertamax harganya Rp30.000.

"Iya, tapi berapa pendapatan orang Singapura? pendapatan per kapita Singapura itu $60.000, lah kita cuma $4.000. Jadi secara relatif harga BBM Indonesia jauh lebih mahal dari Singapura," ucapnya.

Komparasi tersebut, lanjut Lilies tidak sepadan. Dalam rate Rupiah, harga BBM memang lebih murah di Indonesia. Namun dalam analisis ekonomi, perhitungan itu tidak berlaku. 

"Dipakai harga relatif dong," tegasnya.

Kontributor : Uli Febriarni

REKOMENDASI

BERITA TERKAIT

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak