SuaraJogja.id - Peneliti Microeconomics Dashboard (Micdash) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Qisha Quarina, memaparkan kondisi mengenai pasar kerja Indonesia. Menurutnya dengan kondisi sekarang, masih ada tantangan besar yang perlu dihadapi.
Berdasarkan laporan ketenagakerjaan belum lama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2025 turun menjadi 4,76 persen dibandingkan periode Februari 2024 sebesar 4,82 persen.
Namun demikian, nominal jumlah pengangguran justru mengalami peningkatan dari 7.194.862 jiwa di Februari 2024 menjadi 7.278.307 jiwa pada Februari 2025.
"Selama periode Februari 2024–Februari 2025, baik jumlah pengangguran maupun jumlah orang bekerja mengalami kenaikan. Selain itu, pertumbuhan jumlah orang bekerja lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan jumlah pengangguran. Sehingga secara perhitungan rasio, angka TPT akan mengalami penurunan," kata Qisha.
Baca Juga:KKN UGM Dievaluasi Total Pasca Insiden Maut di Maluku: Masih Relevan atau Harus Dihapus?
Mengacu definisi dari BPS, seseorang dikategorikan bekerja apabila melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan paling sedikit selama satu jam dalam seminggu terakhir.
Hal ini membuat kategori bekerja kini menjadi sangat luas, bahkan untuk aktivitas yang tidak menghasilkan upah sekalipun.
"Konsep 1 jam dalam seminggu terakhir ini menjadi penting. Seseorang yang membantu menjaga warung keluarganya selama 1 jam dalam satu minggu terakhir sebelum diwawancara, akan dikategorikan ke dalam bekerja, walaupun yang bersangkutan tidak dibayar," ungkapnya.
Persoalan lain yang tak kalah penting yakni apakah pekerjaan yang dimiliki masyarakat saat ini sudah tergolong layak (decent job) atau belum.
Qisha menilai kondisi ketenagakerjaan Indonesia masih penuh kerentanan. Terutama dengan meningkatnya jumlah pekerja informal yang justru mendominasi belakangan ini.
Baca Juga:UGM Luruskan Kabar Mahasiswa Kritis Usai Insiden Perahu Terbalik di Maluku Tenggara
Dari data SAKERNAS dan BPS, proporsi pekerja informal meningkat dari 59,17 persen di Februari 2024 menjadi 59,40 persen di Februari 2025.
Sebaliknya, proporsi pekerja formal menurun dari 40,83 persen di Februari 2024 menjadi 40,60 persen di Februari 2025.
"Artinya, kenaikan pekerja tidak diikuti dengan perbaikan kualitas pekerjaan," ucapnya.
Belum lagi menyoal pergeseran status pekerjaan dari formal ke informal akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Banyak pekerja yang terdampak PHK beralih menjadi pekerja mandiri, pekerja lepas, atau bahkan pekerja keluarga tidak dibayar.
Berdasarkan data BPS, jumlah pekerja status berusaha sendiri dan berusaha dibantu buruh tidak tetap meningkat dari 51,54 juta pekerja di Februari 2024 menjadi 53,38 juta pekerja di Februari 2025.
Kerentanan lain muncul dari minimnya perjanjian kerja formal yang dimiliki oleh pekerja. Hal ini mengakibatkan lemahnya perlindungan hak dan jaminan sosial bagi pekerja.