SuaraJogja.id - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sarang Lidi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) melaporkan dugaan permintaan pungutan yang dilakukan SMKN 2 Yogyakarta kepada orang tua siswa ke Ombudsman RI DIY. Pungutan itu rencananya akan digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana sekolah.
Anggota AMPPY Robani Iskandar menuturkan, dugaan permintaan pungutan itu terjadi setelah ada laporan dari wali murid usai rapat komite. Pungutan itu diketahui senilai Rp5 juta.
Rinciannya untuk dana pendidikan sebesar Rp150 ribu dikali 12 bulan sehingga menjadi Rp 1,8 juta. Lalu ada uang sumbangan pribadi Rp450 ribu serta uang pembangunan sebesar Rp2,75 juta.
"Memang belum resmi keputusan itu, belum ada surat edaran tapi diputuskan akan terjadi pungutan sebesar awalnya Rp5.250 juta. Kemudian terjadi kesepakatan menjadi Rp5 juta," kata Robani ditemui di Kantor Perwakilan ORI DIY, Rabu (14/9/2022).
Baca Juga:Selama 2022, Polda Lampung Terima Ribuan Pengaduan Pungli
Disampaikan Robani, pihaknya sudah bertemu dengan kepala sekolah untuk melakukan advokasi terkait laporan itu. Sejumlah opsi atau pilihan disampaikan dalam kesempatan tersebut termasuk diperbolehkan untuk tidak memberikan sumbangan.
Kepala sekolah dinilai sudah bersedia untuk mengikuti arahan atau opsi yang diberikan itu. Namun di dalam grup komunikasi komite sekolah terjadi perdebatan.
"Sepertinya kepala sekolah belum menyampaikan itu ke komite. Kemarin belum menyampaikan, baru hari ini menyampaikan ke komite," ucapnya.
Ia mengatakan bahwa dasar komite meminta pungutan itu adalah berdasarkan PP nomor 48 tahun 2008 pasal 47. Namun, kata Robani, pasal tersebut hanya mengatur sekolah swasta saja bukan negeri.
Sehingga seharusnya komite mengacu pada Permendikbud nomor 75 tahun 2016. Jika di dalam aturan itu sekolah negeri tidak diizinkan untuk memberlakukan pungutan melainkan hanya sumbangan sukarela.
Baca Juga:Kades di Bekasi Ditangkap Karena Pungli, PJ Bupati Ingatkan Godaan Administratur Negara
Ia sendiri mengadu ke ORI sebagai bentuk pencegahan agar hal itu tak terjadi. Terlebih sebelum ada kesepakatan melalui surat pernyataan dari orang tua siswa ke sekolah
"Intinya kita lapor di sini untuk laporan awal supaya itu tidak terjadi lagi karena kalau sudah terjadi wali murid itu sudah terekspose untuk menyumbang walaupun sumbangan itu bentuknya pungutan. Jadi sumbangan terasa pungutan," tegasnya.
Sementara itu, Anggota Watch Relations and Corruption Pengawas Aset Negara Republik Indonesia DIY Herman Setiawan menyatakan ada sekitar 60 persen wali murid yang merasa keberatan dengan rencana tersebut.
"Kalau dihitung ya 60 persen ada dari total 811 siswa. Ada yang kelas 11 yang menginformasikan ada tarikan juga. Ternyata siswa kelas 11 itu lebih gede, Rp5.550 juta, kalau kelas 10 itu Rp5 juta," ucap Herman.
Ia menilai jika hanya untuk melakukan pembangunan sarana dan prasaran secara standar cukup dengan menggunakan anggaran BOS dan BOS Daerah saja. Sehingg tak perlu ada pungutan lain kepada orang tua siswa.
"Jadi memang sepatutnya wacana-wacana ini tidak perlu berlanjut oleh sekolah-sekolah, cukup sekolah itu gratis," ujarnya.