"Sate ayam 50 tusuk," perintah yang pertama kali keluar dari bibir Soekarno setelah resmi diangkat sebagai Presiden kepada si tukang sate.

Dalam mukadimah Azimat gagasan Soekarno yakni Mustika Rasa, juga sempat disebut bagaimana sang proklamator begitu menggemari kuliner sate.
Saat ibu kota berpindah ke Yogyakarta, Soekarno banyak turut campur dalam urusan dapur untuk melancarkan siasat diplomasi meja makannya. Dari sekian menu kuliner nusantara, sate menjadi salah satu yang masuk daftar menu wajib dihidangkan untuk para tamu-tamu asing.
Peran sate sebagai bagian dari taktik kamuflase perjuangan Indonesia selain diterapkan oleh Soekarno nyatanya juga pernah pula dipraktikan oleh para pejuang di Yogyakarta.
Kisah ini dilakukan oleh sekumpulan pejuang Yogyakarta saat meletus Agresi Militer II. Untuk mengelabuhi sergapan para serdadu Belanda, para pejuang menyusun strategi perjuangan lewat kedok warung sate yang letaknya di kawasan Gamelan Kidul, Kraton.
Para pejuang termasuk di antaranya Sri Sultan Hamengku Buwono IX kerap berkunjung ke rumah tersebut dengan berpura-pura jajan sate. Tetapi di balik itu mereka saling berkomunikasi menyusun strategi untuk menumpas penjajah Belanda.
Kekinian rumah yang berkedok warung sate tersebut didirikan monumen serta patung seorang pejuang yang membawa bambu runcing sebagai penghormatan para pahlawan.
Nah, tak beda dengan sate, kuliner soto ternyata juga turut mengiringi para pejuang selama masa revolusi.
Disarikan dari catatan Denys Lombard dalam Buku Bagian II Nusa Jawa: Silang Budaya, soto merupakan aplikasi turunan dari makanan China yang asal katanya Jao To. Sementara menurut Russel Jones dalam Loanwords in Indonesian-Malay soto berasal dari kata Shao Du.
Baca Juga:Tata Cara Ziarah Kubur ke Makam Pahlawan, Lakukan Pada Tanggal 10 November
Jejak soto disebut masuk ke tanah Jawa khususnya sekitar abad ke-19 melalui jalur perdagangan di pesisir utara terutama di Kudus yang kemudian bergerak ke Semarang, Pekalongan hingga mendarat ke Lamongan dan Surabaya.