
Di Surabaya saat pertempuran 10 November 1945 meletus, soto disebut punya andil tak kalah besar dalam menumpas pasukan Inggris yang ditunggangi NICA.
Mengutip pernyataan sejarawan dan pakar kuliner Universitas Padjadjaran Fadly Rahman, soto kala itu menjadi satu diantara pilihan asupan pangan para pejuang.
Surabaya dan sekitarnya ketika itu sedang dilanda kelaparan hebat akibat perang dan pagebluk. Kuliner soto pun dianggap sebagai menu yang praktis lagi memungkinkan dijangkau oleh para pejuang ketika itu untuk memenuhi asupan protein serta karbohidratnya.
Tak sekadar menjadi bahan bakar untuk mengenyangkan perut, para pedagang soto di Surabaya nyatanya juga turut serta turun ke mandala perjuangan kemerdekaan.
Para pedagang soto ini tergabung dalam Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia atau BPRI yang dibentuk oleh Sutomo atau yang dikenal dengan Bung Tomo.
Pembentukan BPRI diinisiasi oleh Bung Tomo sebagai bentuk kekeceweaan atas situasi di ibu kota Jakarta dimana sekutu dan serdadu Belanda bebas berkeliaran.
BPRI bentukan bung Tomo selain berisi para pedagang soto juga di dalamnya tergabung para rakyat kecil, pedagang makanan lainnya serta tukang becak.
![Drama kolosal pementasan pertempuran 10 November di halaman Kantor Bupati Gresik diikuti ratusan ASN pada Minggu (10/11/2019). [Suara.com/Tofan Kumara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2019/11/10/75618-drama-kolosal-pementasan-pertempuran-10-november-di-halaman-kantor-bupati-gresik.jpg)
Salah satu aksi BPRI dalam mempertahankan Surabaya dari aneksasi tentara NICA yakni melalui radio perjuangan yang disiarkan dari markas mereka di Jalan Mawar 10 Surabaya.
Lewat siaran radio perjuangan inilah orasi-orasi Bung Tomo disebarluaskan untuk membakar semangat para pejuang yang berpuncak pada tewasnya perwira tinggi Inggris, Brigjen Mallaby.
Baca Juga:Tata Cara Ziarah Kubur ke Makam Pahlawan, Lakukan Pada Tanggal 10 November