Suara Penolakan Pemberian Gelar Kehormatan Menyeruak Dari Internal UGM, Prof Sigit Riyanto: Transaksi Jabatan Akademik?

Salah satu syarat untuk mencapai jenjang jabatan profesor ialah telah menempuh gelar pendidikan doktor, atau setara dengan Pendidikan Tinggi Strata 3.

Galih Priatmojo
Kamis, 16 Februari 2023 | 09:20 WIB
Suara Penolakan Pemberian Gelar Kehormatan Menyeruak Dari Internal UGM, Prof Sigit Riyanto: Transaksi Jabatan Akademik?
Universitas Gadjah Mada (UGM) - (SuaraJogja.id/HO-UGM)

SuaraJogja.id - Suara penolakan atas pemberian gelar kehormatan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), menyeruak dari dalam internal universitas. Kalangan akademisi di kampus biru, bahkan telah membuat pernyataan tertulis terkait penolakan itu. 


Layar tangkap potongan isi surat penolakan tersebut juga telah tersebar luas lewat media sosial Twitter. 


Lebih jauh, soal pernyataan penolakan itu disampaikan oleh salah satu dosen di Fakultas Hukum UGM, Prof.Sigit Riyanto, Rabu (15/2/2023).


Sigit mengatakan, bagi seorang dosen atau akademisi, jabatan profesor atau guru besar merupakan cita-cita, dan menjadi motivasi yang menyemangati dalam menjalani tugas dan profesinya. 

Baca Juga:Ramai Penolakan UGM Terhadap Gelar Profesor Kehormatan, Begini Keterangan Kampus


"Posisi  guru besar merupakan penanda puncak karir dan dedikasinya sebagai seorang dosen. Jalan panjang dan berliku harus dilalui untuk sampai pada posisi sebagai guru besar," ungkapnya.


Salah satu syarat untuk mencapai jenjang jabatan profesor ialah telah menempuh gelar pendidikan doktor, atau setara dengan Pendidikan Tinggi Strata 3. 


Di Indonesia, untuk mencapai jenjang guru besar, seorang dosen perlu waktu puluhan tahun bekerja dan menghasilkan karya akademik dalam kerangka tri dharma perguruan tinggi yang mencakup: Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Ketiganya juga menjadi poin penting dalam mewujudkan visi perguruan tinggi sesuai dengan mandatnya. 


Tri dharma perguruan tinggi juga menjadi tanggung jawab semua elemen perguruan tinggi mulai dari mahasiswa, dosen, serta berbagai sivitas akademika yang ada di dalamnya.


Penasihat Tim Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung RI ini menambahkan, bagi suatu perguruan tinggi, keberadaan profesor dapat dipandang sebagai salah satu penentu kualitas, kemajuan, reputasi dan wibawanya di hadapan komunitas akademik dan masyarakat. 

Baca Juga:Ketika Gus Yahya Batal Bakar Kampus UGM Gegara Diselamatkan UIN Sunan Kalijaga


Semakin banyak jumlah profesor, semakin baik kualitas dan reputasinya, dan semakin bertambah kepercayaan publik terhadap perguruan tinggi tersebut. Oleh karenanya, semua perguruan tinggi berusaha mendorong dan memfasilitasi para dosen untuk mencapai jabatan profesor.


Sesuai regulasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jabatan profesor dapat dicapai melalui dua cara, yakni melalui jalur akademik bagi dosen, dan jalur lain, bagi kalangan non-akademik yang memiliki kompetensi luar biasa. 


Jalur pertama merujuk pada Permendikbud No 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen, di mana seorang profesor berprofesi sebagai dosen. 

Sementara, aturan mutakhir jabatan profesor bagi kalangan non-akademik dirumuskan dalam Peraturan Mendikbud Ristek No 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. 


Sebelumnya pengangkatan profesor tidak tetap merujuk pada Permendikbud No. 88 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tidak Tetap dalam Jabatan Akademik Pada Perguruan Tinggi Negeri.


Peraturan Mendikbud Ristek No 38 Tahun 2021 menegaskan kriteria bagi profesor kehormatan, lanjutnya. Di antaranya: memiliki kualifikasi akademik paling rendah doktor, doktor terapan, atau kompetensi yang setara dengan jenjang 9 (sembilan) pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit luar biasa. 


Selain itu, memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa, yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional.

Di negara lain juga dikenal dosen tidak tetap, yang berasal dari kalangan non akademisi atau praktisi yang memiliki kecakapan dan keahlian yang relevan. Di AS misalnya dikenal dengan sebutan practice professors, professors of the practice, atau professors of professional practice. 


"Mereka ditugaskan untuk mengajar, namun tak dibebani kewajiban untuk melakukan riset. Pengangkatan dalam jabatan semacam ini dilakukan dengan prosedur yang transparan, jelas, dan ketat; serta quality control yang andal," lanjutnya.


Ada evaluasi berkala dan ketat sebagai dasar untuk memperpanjang atau menghentikan yang bersangkutan dalam posisi tersebut.

Salah satu kaidah normatif pengangkatan profesor kehormatan adalah memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit luar biasa. Kemudian, memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional. 


Mereka yang diangkat dalam jabatan tersebut seharusnya individu yang betul-betul membuktikan kompetensi, karya, pengalaman, dan reputasi yang relevan bagi pengembangan iptek dan kontribusi keilmuan. 


Dalam beberapa tahun terakhir regulasi tentang dosen tidak tetap dan profesor kehormatan menjadi rujukan dan justifikasi pengangkatan profesor kehormatan; yang nampaknya mulai dianggap sebagai kelaziman dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia. 


Ada kekhawatiran bahwa interpretasi terhadap kaidah normatif dilakukan secara subyektif, sesuai kepentingan para pihak yang terlibat di dalamnya, imbuh Sigit. 


"Pengangkatan profesor kehormatan tersebut dikhawatirkan, didasari oleh relasi transaksional, tekanan, atau kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan misi fundamental pendidikan tinggi," tambahnya. 


"Jika hal ini yang terjadi, maka patut diduga ada upaya 'transaksi jabatan akademik profesor' dengan mengabaikan norma, etika, dan standar mutu akademik yang sahih dan otentik. Suatu formalisasi dan rekognisi terhadap capaian akademik semu, tidak orisinal, dan tidak genuine," terangnya.

Ia juga menjelaskan, pengangkatan profesor kehormatan karena adanya kepentingan pragmatis individu atau kelompok, dapat dianggap diskriminatif, mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan.


"Bahkan mengkhianati dedikasi para dosen yang berjuang dengan berbagai upaya untuk mencapai posisi guru besar," lanjut dia. 


"Betapa tidak, para dosen di perguruan tinggi harus berjuang keras puluhan tahun untuk mencapai posisi profesor dengan berbagai beban kinerja, belitan regulasi dan birokrasi," tegasnya mengulang keterangan di awal.


Kebijakan semacam itu, dikhawatirkan akan menimbulkan demoralisasi bagi para dosen dan akademisi yang ada di perguruan tinggi. Kepercayaan dosen terhadap martabat profesi serta institusinya tergerus, tata kelola Pendidikan Tinggi tak bisa diandalkan dan tak memberi harapan.


Semangat pengabdian dan dedikasi terhadap tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidik dan intelektual merosot, tandasnya.

Kontributor : Uli Febriarni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini