Pohon Beringin Alun-Alun Utara dan Selatan Keraton Yogyakarta: Nama-Nama, Arti, dan Kisah Sejarah di Baliknya

Berikut penjelasan lengkap nama pohon beringin di alun-alun Jogja dan arti serta kisah sejarah di baliknya.

Dany Garjito
Kamis, 20 Juli 2023 | 16:06 WIB
Pohon Beringin Alun-Alun Utara dan Selatan Keraton Yogyakarta: Nama-Nama, Arti, dan Kisah Sejarah di Baliknya
Suasana salah satu akses jalan menuju Keraton Yogyakarta di Jalan Malioboro, Kota Jogja, Minggu (19/9/2021). tim Suara.com.

SuaraJogja.id - Tahukah kamu bahwa pohon-pohon beringin di alun-alun utara dan selatan Keraton Yogyakarta memiliki nama

Dikutip dari Kratonjogja.id, berikut penjelasan lengkap nama pohon beringin di alun-alun Jogja dan arti serta kisah sejarah di baliknya.

Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru

Di tengah Alun-Alun Utara, ditanam sepasang pohon beringin. Karena diberi pagar berbentuk persegi, keduanya juga disebut sebagai ringin kurung yang berarti beringin yang dikurung. Keberadaan sepasang ringin kurung ini tepat di tengah alun-alun dan mengapit sumbu filosofi, yakni garis imajiner yang membujur antara utara dan selatan, menjadi poros bagi tata ruang Keraton Yogyakarta. Beringin yang di sisi barat dikenal sebagai Kiai Dewadaru, sedang yang di sisi timur dikenal sebagai Kiai Janadaru.

Baca Juga:Jual Satwa Dilindungi Lewat Medsos, Polisi Ringkus Pria Asal Kendal

Sebagai pusaka keraton, keduanya turut menjalani upacara Jamasan tiap bulan Sura. Jamasan adalah upacara di keraton untuk membersihkan dan merawat benda-benda pusaka. Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru dijamas dengan cara dipangkas sehingga tajuknya berbentuk bundar seperti payung. Bentuk payung ini melambangkan pengayoman yang diberikan keraton pada rakyat Yogyakarta.

Kiai Dewadaru berasal dari kata dewa dan daru. Dewa bermakna sifat-sifat ketuhanan sedang daru berarti cahaya, sehingga Dewadaru dapat diartikan sebagai cahaya ketuhanan. Kiai Janadaru berasal dari kata jana dan daru. Jana berarti manusia, sehingga Janadaru dapat diartikan sebagai cahaya kemanusiaan.

Kiai Dewadaru ditempatkan di sebelah barat sumbu filosofi, di sisi yang sama dengan lokasi Masjid Gedhe yang berfungsi sebagai pusat keagamaan. Sedang Kiai Janadaru ditempatkan di sebelah timur sumbu filosofi, di sisi yang sama dengan lokasi seperti Pasar Gedhe (Pasar Beringharjo) yang berfungsi sebagai pusat ekonomi. Agama dipandang dalam hubungannya dengan sifat-sifat ketuhanan, sedang ekonomi dipandang dalam hubungannya dengan sifat-sifat kemanusiaan. Keseimbangan dan keserasian hubungan diantara keduanya merupakan konsep Manunggaling Kawula Gusti, yaitu persatuan antara Raja dan rakyat serta kedekatan hubungan antara manusia dan Tuhan.

Konon, bibit Kiai Dewadaru berasal dari Majapahit sedang bibit Kiai Janadaru berasal dari Pajajaran. Garis keturunan ini terus dijaga tiap kali ada pohon yang rubuh atau mati. Kiai Dewadaru pernah diganti pada tahun 1988, saat beringin tersebut rubuh menjelang wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Kiai Janadaru pernah terbakar dan ditanam kembali karena tersambar petir pada tahun 1961. Sebelumnya, Kiai Janadaru juga pernah diganti pada tahun 1926.

Peristiwa rubuh dan digantinya Kiai Janadaru pada tahun 1926 tersebut dikisahkan cukup rinci pada Serat Salokapatra. Kiai Janadaru yang sudah sakit selama sekitar dua tahun akhirnya rubuh. Seluruh bagian pohon yang rubuh kemudian dikuburkan tidak jauh dari tempat semula.

Baca Juga:Berkaitan Erat dengan Sejarahnya, Ini Arti Malam 1 Suro Bagi Orang Jawa

Kiai Janadaru kemudian digantikan bibit baru yang berasal dari cangkokannya sendiri. Bibit baru tersebut kemudian ditanam kembali di tempat dahulu Kiai Janadaru tumbuh. Penanaman bibit tersebut dilakukan dalam sebuah upacara yang dipimpin oleh Patih Danureja VII dan diiringi doa-doa oleh Abdi Dalem Punokawan Kaji.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini

Tampilkan lebih banyak