SuaraJogja.id - Koalisi Penghapusan Diskriminasi bagi Kelompok Rentan menyoroti masih berulangnya kejadian diskriminatif di Indonesia terkhusus di Yogyakarta. Kelompok rentan seolah belum mendapatkan kesetaraan sebagai haknya selama ini.
Padahal, Indonesia menjamin hak asasi warganya melalui Konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan produk-produk hukum lainnya. Dengan demikian Pemerintah yang memiliki regulasi tersebut diajak untuk membuka mata lebar-lebar dan mulai bergerak menyelesaikan masalah.
Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan beberapa hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Vella Massardi dari Lembaga PKBI Yogyakarta menuturkan bahwa konstitusi Indonesia juga menjabarkan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan hak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa kasus masih terjadi diskriminasi, terutama pada kelompok rentan di Indonesia.
Baca Juga:Seorang Guru Les Privat Cabuli Anak Disabilitas di Cengkareng
"Pada tahun 2022, Global Inclusiveness Index, sebuah pengukuran untuk melihat secara holistik tingkat inklusifitas yang dirasakan oleh kelompok rentan, menempatkan Indonesia di posisi 103 dari 136 negara yang disurvei," kata Vella, Rabu (4/10/2023).
Hasil penelitian Crisis Response Mechanism (CRM) dan Pusat Study Hukum dan Kebijakan (PSHK) menunjukan bahwa terdapat 63 kebijakan di Indonesia tentang kelompok rentan. Tetapi kebijakan tersebut masih bersifat umum dan belum efektif dalam pelaksanaannya.
Bahkan, dalam kebijakan-kebijakan yang ada, masih ada beberapa kelompok rentan yang tidak dianggap. Seperti misalnya saja minoritas seksual dan gender, orang dengan HIV, dan masyarakat yang hidup di daerah tertinggal.
"Kondisi ini menyebabnya tingginya angka kekerasan terhadap kelompok rentan. Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak menunjukkan 987 laporan kasus kekerasan yang dialami kelompok disabilitas," ungkapnya.
Data CRM menemukan 161 orang dari kelompok minoritas gender dan seksual menerima kekerasan dan diskriminasi karena identitasnya. Ditambah lagi, Litbang Kompas 2022 menemukan bahwa terjadi diskriminasi hak atas proses hukum yang dilatarbelakangi oleh aspek gender masih kerap ditemui.
Baca Juga:Hani Hadiyanti, Nasabah Disabilitas Binaan PNM dengan Sejuta Inspirasi
Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang dikeluarkan pada tahun 2022 menyebutkan data pelaporan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan pekerja tahun 2021 ada sebanyak 7.029 kasus kekerasan berbasis gender dengan ragam jenis pekerjaan.
Ditambahkan Purwanti dari Lembaga SIGAB Indonesia, data yang dijabarkan itu tak hanya sekadar angka saja. Pada bulan September lalu, sekelompok organisasi masyarakat sipil di Yogyakarta juga berkumpul dan mendokumentasikan kasus-kasus diskriminasi yang terjadi di Jogja.
Beberapa kasus yang mencuat dan benar-benar terjadi pun tak lepas dari kesan diskriminatif. Baik mengenai urusan agama maupun kondisi kelompok rentan lainnya.
"Contohnya ada yang kesulitan mencari tempat kos, menyewa rumah bahkan membeli rumah karena calon penyewa adalah orang disabilitas, orang dengan keragaman gender, orang dengan HIV, dan lain-lain," ujar Purwanti.
Belum lagi dengan berbagai perizinan gereja yang dipersulit, seseorang yang dipecat akibat kedapatan HIV positif, hingga sulitnya mencari pekerjaan bagi kelompok rentan.
"Ada teman saya seorang dokter hewan yang tidak diizinkan membuka klinik dikarenakan dirinya adalah orang dengan disabilitas netra," ungkapnya.
Dan masih banyak persoalan lain yang kemudian ditemukan di tengah masyarakat. Melihat situasi ini, pihaknya menilai dibutuhkan payung hukum yang komprehensif untuk melindungi kelompok rentan dari diskriminasi.
"Kerentanan ini harus dilihat tidak hanya dari satu sisi, tapi dari berbagai dimensi, seperti status kesehatan, usia, ketimpangan ekonomi, kepercayaan dan agama, gender, status masyarakat adat, dan lainnya," tuturnya.
Peraturan yang komprehensif ini setidaknya mengatur tentang definisi diskriminasi yang komprehensif, kategorisasi kerentanan yang inklusif, mekanisme penyelesaian diskriminasi (termasuk pemulihan hak korban), penegakan hukum, penguatan dan pembentukan kelembagaan untuk mewujudkan kesetaraan. Serta mekanisme implementasi untuk penghapusan diskriminasi di segala tingkat.
Maka dari itu Koalisi Penghapusan Diskriminasi bagi Kelompok Rentan, memberikan sejumlah poin penting. Poin-poin ini untuk semakin mendesak Pemerintah Republik Indonesia agar bertindak.
Pertama yakni menghentikan segala bentuk ucapan, tindakan, dan segala praktik serta kebijakan yang menciptakan dan melanggengkan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok rentan di Indonesia.
Kedua menguatkan perlindungan terhadap kelompok-kelompok rentan dengan tujuan perlindungan dan penikmatan hak asasi manusia secara penuh dan setara, tanpa ada diskriminasi atas dasar apapun termasuk agama, kepercayaan, ras, etnis, keberagaman seksual, gender, jenis kelamin, usia, status kesehatan, status disabilitas, pekerjaan, serta aspek-aspek lain yang membuat seseorang rentan terhadap diskriminasi.
"Tiga mendukung aspirasi dan inisiatif dari berbagai lapisan kelompok masyarakat sipil terkait penegakan prinsip-prinsip penghapusan diskriminasi dan perlindungan hak asasi manusia bagi setiap warga negara, khususnya bagi kelompok-kelompok yang memiliki kerentanan-kerentanan tertentu terhadap diskriminasi," tegasnya.
Keempat yakni membentuk undang-undang penghapusan segala bentuk diskriminasi yang komprehensif untuk pengakuan, perlindungan, pencegahan, dan pemulihan hak-hak korban diskriminasi.