SuaraJogja.id - Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menyoroti putusan Mahkamah Agung (MA) terkait batas syarat usia calon Kepala Daerah. Sudah seharusnya setiap lembaga negara tidak menggunakan hukum sebagai tameng kepentingan politik dan oligarki semata.
"Kepada seluruh lembaga negara agar tidak menggunakan hukum sebagai tameng kepentingan politik dan oligarki semata [autocratic legalism]," kata Peneliti PSHK FH UII, Retno Widiastuti dalam keterangan tertulisnya, dikutip Minggu (2/6/2024).
Selain itu lembaga negara harus tetap melanjutkan komitmennya dalam penyelenggaraan pesta demokrasi. Dengan fokus penyelenggaraan yang mengusung nilai-nilai luberjurdil.
Dalam putusan itu, PSHK FH UII memberikan sejumlah rekomendasi. Pertama yang ditujukan kepada Mahkamah Agung (MA).
MA harus tetap memiliki landasa pertimbangan hukum yang kuat dalam memutus pengujian materiil itu. Terlebih dengan aturan tentang kewenangan MA dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Aturan itu tertuang dalam amanat Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945 dan atribusi dari Undang-Undang MA serta Undang-Undang tentang Pembentukan Perundang-undangan.
"Tetapi dalam memutus pengujian materiil tersebut, MA harus tetap berlandaskan pada pertimbangan hukum yang kuat sebagai bentuk akuntabilitas, transparansi, independensi, dan imparsialitas. Sehingga tidak menimbulkan prasangka buruk dari publik," tegasnya.
Kemudian rekomendasi kedua, disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam hal ini KPU diminta untuk segera melakukan konsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Tujuannya untuk memberikan sikap atas putusan tersebut. Sehingga tetap dapat berpedemonan pada aturan sebelumnya yang sudah ada.
Baca Juga:Syawalan di Gunungkidul, Sri Sultan HB X Dapat Keluhan Soal Sulitnya Meningkatkan IPM
"Kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segara melakukan konsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan memberikan sikap yang tegas untuk mengambil upaya hukum atas Putusan MA Nomor 23/P/HUM/2024. Sehingga tetap dapat berpedoman pada Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada dan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 yang asli," tuturnya.
Melihat norma undang yang umum-abstrak seharusnya memang diperlukan aturan teknis terkait peraturan undang-undang. Namun keputusan itu justru mengabaikan hal itu dan aturan teknis yang sudah dibuat oleh KPU tidak dianggap.
PSHK FH UII menilai pertimbangan hukum yang dikonstruksikan di dalam Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 itu dibangun dengan pertimbangan hukum yang sangat lemah. Termasuk secara kuantitas yang hanya terbatas pada empat halaman analisis saja.
"Pada akhirnya MA melakukan penafsiran hukum dengan cara menambahkan rumusan norma bahwa syarat usia calon kepala daerah dihitung ketika pelantikan, yang secara teoritis dan normatif bukanlah kewenangan MA melainkan sebagai kewenangan Pembentuk Undang-Undang (open legal policy). Sehingga, sejatinya MA telah melampaui kewenangannya," ujarnya.
Peneliti PSHK FH UII lainnya, M Erfa Redhani menilai alasan yang digunakan untuk mengabulkan Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 hanya didasarkan pada rasionalisasi tidak adanya kepastian hukum atas titik penghitungan usia.
Lazimnya, bahwa makna sejati dari usia minimum jabatan adalah ketika pelantikan, dan untuk memberikan keadilan bagi warga negara atau partai politik yang tidak dapat mencalonkan diri.
"Bahwa dalil pertimbangan hukum yang ala kadarnya tersebut, dapat secara mudah dimentahkan dengan beberapa argumentasi hukum," tandasnya.
"Sehingga PKPU 9/2020 sudah tepat, upaya MA menyamakan syarat pencalonan dari bakal calon menjadi calon Kepala Daerah dengan calon terpilih menjadi Kepala Daerah Terpilih adalah kegagalan logika hukum yang sangat fatal [logical fallacy]," imbuhnya.