Pembangunan Beach Club di Gunungkidul Berpotensi Matikan Sumber Air Tanah, Akademisi Desak Perlu Riset Mendalam

Meski Raffi Ahmad mundur dari proyek beach club di Gunungkidul, hal tersebut tak lantas mengakhiri proyek yang dikabarkan bakal berdiri di kawasan kars yang dilindungi.

Galih Priatmojo
Kamis, 27 Juni 2024 | 19:26 WIB
Pembangunan Beach Club di Gunungkidul Berpotensi Matikan Sumber Air Tanah, Akademisi Desak Perlu Riset Mendalam
Raffi Ahmad ketika mengunjungi lokasi rencana pembangunan beach club-nya di Gunungkidul (Instagram/@raffinagita1717)

SuaraJogja.id - Meski artis Raffi Ahmad akhirnya mundur dari proyek beach club di Pantai Krakal, Gunungkidul beberapa waktu lalu, pembangunan dimungkinkan masih akan berjalan. Sebab Raffi Ahmad disebut hanya satu dari sekian investor beach club tersebut.

Karenanya sejumlah akademisi meminta para pengambil kebijakan maupun investor untuk melakukan riset mendalam sebelum benar-benar melaksanakan proyek tersebut. Bukan tanpa alasan, di kawasan Pantai Krakal diperkirakan terdapat banyak cabang-cabang sumber air tanah bagi warga Gunungkidul.

"Jadi bukan perlukah proyek beach club dilanjutkan atau tidak, tapi perlu ada riset yang mendalam karena di kawasan pantai krakal bisa jadi banyak cabang-cabang sumber air tanah. Kalau salah pembangunannya maka sumber air tanah itu bisa hilang," papar Deputy Director Pusat Sains Kelapa Sawit Instiper, Agus Setyarso dalam Summer Course Landscape Management Karst Ecosystem di Yogyakarta, Kamis (27/6/2024).

Menurut mantan Forest Program WWF Indonesia tersebut, di Gunungkidul tercatat ada lebih 100 sungai di bawah tanah. Selain itu hanya satu sungai yang berada di permukaan tanah.

Baca Juga:Niat Baik Berujung Petaka, Warga Gunungkidul Ditodong Sabit Usai Beri Tumpangan

Saat ini baru sekitar 7 persen sumber air di kawasan tersebut yang bisa menghidupi warga setempat. Karenanya bila pembangunan infrastruktur dilakukan tanpa adanya kajian atau riset mendalam, maka nantinya akan semakin banyak sumber-sumber air tanah yang hilang.

"Saat ini penduduk sekitar saja harus beli air sekitar Rp 750 ribu per bulan. Sedangkan sampai saat ini belum ada data-data cabang sumber air di kawasan karst. Ini yang harus dilakukan pemetaan sebelum dibangun beach club dan lainnya," paparnya.

Hal senada disampaikan Guru Besar Manajemen Air Universitas Padjajaran, Chay Asdak yang menyatakan, investor atau pemerintah setempat harus memastikan tidak ada mata air di kawasan karst yang didirikan bangunan. 

"Kalau landscape karst rusak, maka penduduk akan kehilangan mata air dibawahnya. Investor bisa saja tidak tahu hal ini, mereka hanya tahu melihat landscape yang bagus untuk pariwisata," tandasnya.

Chay menambahkan, pendekatan Daerah Aliran Sungai (DAS) penting dilakukan agar investor mengetahui pengelolaan air dari hulu hingga hilir. Selain itu pembangunan infrastruktur atau beach club pun harus melibatkan partisipasi penduduk sekitar. Dengan melibatkan semua pihak maka kontestasi ide dalam proyek beach club akan ada jalan keluarnya.

Baca Juga:Tak Terima Difitnah Curi Ayam, Kakek Asal Paliyan Nekat Habisi Seorang Janda

"Yang sekarang terjadi kan adanya miskomunikasi karena tidak ada media komunikasi yang menguatkan public engagement (partisipasi publik-red). Selain itu pembangunan di kawasan karst harus ada perencanaan berbasis hasil riset," ungkapnya. 

Agung Nugroho, salah seorang penggagas agrowisata desa Ngestiharjo, Gunungkidul mengungkapkan, sebenarnya warga di kawasan karst tidak mempermasalahkan pembangunan beach club. Namun yang perlu diperhatikan, pembangunan tersebut harus benar-benar memperhatikan kesesuaian tata ruang.

"Apalagi ada lebih dari 300 UMKM yang sebenarnya bisa mengembangkan usahanya bila ada beach club, tapi ya itu perlu adanya kajian agar tidak menghilangkan sumber air tanah kami," imbuhnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak