Pilkada Serentak 2024: Ketika Kotak Kosong Menjadi Ancaman Demokrasi

Perlu ada kebijakan hukum yang mengharuskan calon dalam pilkada minimal harus dua calon.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 03 September 2024 | 12:32 WIB
Pilkada Serentak 2024: Ketika Kotak Kosong Menjadi Ancaman Demokrasi
Ilustrasi kotak kosong. [Ist]

SuaraJogja.id - Sejumlah wilayah yang menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada tahun ini bakal berpotensi hanya akan melawan kotak kosong. Hal itu menyusul hanya ada calon tunggal saja yang muncul untuk mengikuti kontestasi.

Dalam catatan KPU, terdapat 43 daerah yang terdiri dari satu provinsi di Papua Barat, lima kota, dan 37 kabupaten yang mungkin menghadapi skenario tersebut. Kepala Departemen Hukum Tata Negara FH UII, Jamaludin Ghafur menyoroti situasi itu.

Menurut Ghafur, munculnya fenomena kotak kosong yang kian masih ini cukup mengkhawatirkan. Termasuk bukan situasi yang ideal bagi iklim demokrasi di Indonesia sendiri.

"Munculnya fenomena calon tunggal yang semakin banyak dan masif dalam penyelenggaraan pilkada merupakan sebuah ironi dan kabar buruk bagi demokrasi," kata Ghafur, Selasa (3/9/2024).

Baca Juga:Optimisme Dua Paslon Hadapi Kontestasi Pilkada Sleman 2024

Parpol tertentu terkesan enggan untuk mengajukan calon sendiri padahal memenuhi syarat. Dia melihat parpol lebih memilih untuk membentuk koalisi gemuk sehingga pada akhirnya hanya muncul satu calon.

Bahkan beberapa gabungan parpol pun melakukan kooptasi dan kartel pencalonan. Kondisi ini yang kemudian menghambat terwujudnya pilkada yang demokratis.

"Biaya triliunan rupiah untuk penyelenggaraan pilkada pada akhirnya menjadi sia-sia ketika publik hanya disuguhi calon tunggal dan dipaksa untuk memilihnya," ujarnya.

Senada, Allan Fatchan Gani Wardhana selaku Pengajar Hukum Tata Negara FH UII menyampaikan keprihatinannya atas fenomena kotak kosong yang masif ini. Atas dasar itu pihaknya memberikan sejumlah saran kepada para parpol.

Terutama untuk mendorong parpol-parpol yang ada agar mengajukan calon di beberapa daerah yang calonnya masih tunggal. Apalagi KPU memberi kesempatan untuk daerah-daerah yang masih memiliki calon tunggal itu.

Baca Juga:Sukamto Blak-blakan soal Alasan Maju Jadi Pendamping Kustini di Pilkada Sleman

"Kemudian ke depan, perlu ada kebijakan hukum yang mengharuskan calon dalam pilkada minimal harus dua calon. Sehingga praktek koalisi partai yang sangat gemuk tidak terulang kembali," tandas Allan.

KPU Beri Kesempatan

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjelaskan bahwa partai politik bisa mengubah arah dukungannya meski sudah mendaftarkan bakal pasangan calon kepala daerah yang diusung.

Namun, ketentuan tersebut hanya berlaku apabila hanya ada satu bakal pasangan calon kepala daerah yang sudah mendaftar di wilayah tersebut.

Ketua Divisi Teknis KPU RI Idham Holik mengatakan apabila pasangan calon tunggal menyisakan partai atau gabungan partai yang tidak memenuhi ambang batas, maka partai politik yang sudah mengusung calon tunggal bisa menarik dukungannya.

"Di suatu wilayah dengan calon tunggal menyisakan partai politik yang tidak melampaui ambang batas perolehan suara sah sebagaimana yang dipersyaratkan dalam peraturan, maka kami persilakan parpol yang telah bergabung ke dalam calon tunggal untuk berpikir ulang, apakah dia bakal mengusung calon lainnya, itu kami persilakan," kata Idham di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Jumat (30/8/2024) kemarin.

Pasalnya, Idham menegaskan KPU berkomitmen untuk mendorong agar tidak ada calon tunggal di suatu daerah. Masa sosialisasi terkait ketentuan itu sendiri sudah dilakukan selama 3 hari yaitu 30, 31 Agustus, dan 1 September kemarin.

"Mulai tanggal 2, 3, 4 September selama 3 hari KPU provinsi kabupaten kota yang di mana ada calon tunggal dan masih tersisa partai politik yang belum bisa mengajukan paslon nya, maka dipersilakan untuk melakukan pendaftaran parpol yang dimaksud sesuai dengan ketentuan PKPU nomor 10 tahun 2024," ungkapnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini