SuaraJogja.id - Ada pemandangan menarik di Kantor Gubernur, Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Rabu (11/9/2024). Dua kubu pedagang Teras Malioboro 2 atau TM 2 Yogyakarta, baik yang menolak relokasi ataupun yang menerima kebijakan Pemda DIY tersebut berada dalam satu lokasi yang sama.
Dalam aksi tersebut, para pedagang yang kontra relokasi membawa berbagai macam spanduk dan poster bertuliskan tuntutan mereka. Mereka juga membawa keranda sebagai simbol matinya usaha mereka akibat relokasi tersebut.
Sedangkan kubu pedagang yang pro relokasi membawa spanduk bertuliskan persetujuan dipindahkan. Mereka tidak ingin memperpanjang polemik relokasi karena ingin mencari makan.
Kubu kontra relokasi meminta kejelasan nasib pasca relokasi. Ketua Paguyuban Tri Dharma, Supriyati, disela aksi menyatakan, para pedagang kesulitan berdialog dengan Pemda DIY terkait kejelasan nasibnya. Padahal mereka telah berulang kali mengirimkan surat permohonan dialog kepada Pemda DIY. Namun pada kenyataannya surat-surat tersebut selalu ditolak dan dilimpahkan ke Pemerintah Kota Yogyakarta.
Baca Juga:Pembangunan Lahan Parkir Pasar Godean Diserahkan ke Pemkab Sleman
"[Kebijakan] sumbu filosofi itu kan dari Pemda DIY, tapi kok kalau kita mau dialog malah disuruh ke Kota. Ini kan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik," ujarnya.
Menurut Supriyati, Pemda DIY tidak responsif terhadap aspirasi pedagang. Padahal mereka mengklaim relokasi akan berdampak buruk pada perekonomian mereka.
Para pedagang sebenarnya juga sudah berupaya menyurati Dinas Kebudayaan (Disbud) DIY. Namun pedagang hanya mendapatkan janji palsu.
"Saat kami kirim surat [ke Disbud], waktu itu katanya akan ada pertemuan tapi nyatanya langsung digagalkan. Makanya kami kembali ke sini, bersurat sampai 2 kali dan ditolak lagi," tandasnya.
Supriyati menambahkan, alih-alih menguntungkan, relokasi yang dilakukan disebut akan merugikan mereka. Apalagi pedagang juga tidak dilibatkan dalam proses relokasi.
Baca Juga:Kampung Seni Kujon: Jembatan Budaya untuk Melestarikan Candi Borobudur
"Kami juga heran sampai ada perencanaan gambaran tapi dari situ saja kita tidak pernah dilibatkan, jadi kami ingin ada pelibatan kami sebagai pedagang wong kita yang dipindahkan tapi nggak pernah diajak urun rembug seperti itu," jelasnya.
Sementara salah seorang pedagang yang pro relokasi, Eko mengungkapkan, tidak semua pedagang menolak relokasi. Sebagian dari mereka tetap mempersilahkan pemindahan pedagang ke tempat baru karena yang terpenting mereka mendapatkan manfaat.
"Pedagang yang pro relokasi ada sekitar 91 orang. Ada pedagang lain juga, tapi saya tidak tahu jumlah pastinya," kata dia.
Eko mengaku pedagang bisa merasakan manfaat dari relokasi. Tak hanya memindahkan pedagang, Pemda juga menyediakan fasilitas yang dibutuhkan.
"Dulu kita di selasar, terus dipindah ke TM2. Kita sudah dimanusiakan, dikasih tempat yang layak. Sekarang kita tinggal mensyukuri," ungkapnya.
Ia juga menyampaikan kekhawatirannya jika para pedagang kembali ke selasar. Karenanya alih-alih menolak, semua pihak diharapkan mencari solusi terbaik.
Para pedagang pun diharapkan untuk lebih optimis dan berinovasi dalam berjualan. Mereka tidak perlu menunggu pembeli datang,
"Kita dikasih tempat yang bagus, kok mau pindah lagi? Selasar itu sudah tidak bisa ditempati lagi. Jangan hanya menunggu pembeli, tapi kita juga harus jemput bola," ujarnya.
Pedagang lainnya, Aris mengungkapkan dirinya awalnya berjualan di selasar Malioboro sebelum dipindahkan ke TM 2. Fasilitas yang disediakan di TM 2 pun memadai seperti kebersihan, kamar mandi dan listrik, sangat membantu meringankan beban para pedagang.
Karenanya berbeda dengan rekan-rekannya yang terus menuntut untuk kembali ke lokasi semula, Aris berpendapat relokasi adalah langkah yang tepat. Mereka tidak perlu menyewa gudang dan menyewa pendorong gerobak.
"Kalau saat di selasar kita itu harus sewa gudang, bayar pendorong [gerobak], itu sudah berapa. Kalau terus menerus menuntut, padahal kan pemerintah berproses gimana caranya wisatawan masuk ke Jogja, itu juga mau masuk juga ke TM 2," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi