Pengawasan Miras di DIY sangat Lemah, Sosiolog UGM Tawarkan Solusi Ini

Permasalahan miras tidak hanya terbatas pada transaksi jual belinya, banyak penduduk Yogyakarta yang bukan warga asli harus jadi pertimbangannya.

Muhammad Ilham Baktora
Kamis, 07 November 2024 | 18:19 WIB
Pengawasan Miras di DIY sangat Lemah, Sosiolog UGM Tawarkan Solusi Ini
Miras yang ditemukan di sebuah kamar kos di Gadingan, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman, pada Selasa (5/11/2024) siang. (dok.Istimewa)

SuaraJogja.id - Menanggapi terbitnya edaran pengawasan minuman beralkohol, Sosiolog UGM, Derajad Sulistyo Widhyharto, memberikan apresiasi atas langkah tersebut. Selama ini, pengawasan terhadap peredaran minuman keras (miras) di Yogyakarta belum optimal, meskipun kota ini dikenal sebagai Kota Pelajar dan tujuan wisata yang memiliki tingkat mobilitas penduduk yang tinggi.

Menurut Derajad, permasalahan miras tidak hanya terbatas pada transaksi jual belinya. Banyak penduduk Yogyakarta yang bukan warga asli, sehingga akses masuk barang-barang termasuk miras terbuka dari berbagai arah.

"Jadi jangan dilihat jual beli [miras], seharusnya dilihat juga bahwa barang bebas masuk dari mana saja mengingat di Jogja dihuni juga oleh penduduk luar," ujar Derajad dikutip dari ugm.ac.id, Kamis (7/11/2024).

Penerbitan instruksi gubernur segera setelah peristiwa penusukan yang menyebabkan dua korban santri juga dinilai responsif, walaupun pemerintah seharusnya sejak awal sudah bisa memprediksi perlunya pengendalian miras.

Baca Juga:Sleman Perketat Pengawasan Miras, Warga Diminta Lapor Penjualan Ilegal

Selama ini, industri miras bergerak secara terselubung, tidak terpantau pemerintah. Sementara regulasi yang ada hanya efektif di sektor formal, yang sebenarnya lebih penting adalah pengawasan di sektor informal, di mana persebaran miras lebih sulit dikontrol.

"Instruksi ini cukup baik, meskipun sedikit terlambat. Saat ini belum ada badan khusus yang fokus pada pengawasan jual-beli miras. Regulasi ini hanya mencakup sektor formal," ujar Derajad.

Derajad menilai, industri miras di sektor informal memiliki peran besar dalam ekonomi kota. Ia menggambarkan fenomena industri ini seperti gunung es, di mana yang terlihat hanya sebagian kecil di permukaan, sedangkan aktivitas jual beli di bawah permukaan tidak terkendali.

Industri miras, menurutnya, juga turut berkontribusi dalam ekonomi Yogyakarta, terutama sektor pariwisata. Minimnya pengawasan menyebabkan aliran uang dari industri ini sulit dilacak. Baru-baru ini, Polresta Yogyakarta menemukan bahwa lebih dari 90 persen outlet terbukti menjual miras ilegal dan menindak mereka secara masal.

"Karena ini ekonomi bawah tanah, pengawasannya sulit. Selain distribusinya, kualitas produk juga perlu diawasi. Produk resmi mungkin terdata, tapi bagaimana dengan miras oplosan?" lanjut Derajad.

Baca Juga:Diduga Lakukan Politik Uang Jelang Pilkada, Singgih dan Istri Dilaporkan ke Bawaslu Kota Yogyakarta

Derajad menekankan bahwa pemerintah perlu memahami terlebih dahulu bagaimana industri miras beroperasi. Alih-alih menekan peredarannya, jual beli miras bisa diatur secara lebih terpusat. Hal ini akan memudahkan pengawasan dan implementasi regulasi yang sudah ada.

"Saran saya, legalisasi penjualan miras namun pusatkan penjualannya. Dengan demikian, kita bisa mengetahui siapa penjual, siapa pembeli, dan aliran uangnya," tambah Derajad.

Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2024 tentang Optimalisasi Pengendalian dan Pengamanan Minuman Beralkohol mencakup langkah inventarisasi peredaran miras, pemanfaatan peran pemerintah daerah, hingga larangan penjualan daring dan sistem pesan antar. Namun, regulasi ini belum menentukan pihak yang bertanggung jawab langsung dalam pengawasan miras, sehingga penerapannya kurang optimal.

Menurut Derajad, pengawasan ini perlu melibatkan dua pihak. Pertama, masyarakat yang memiliki keahlian dalam mengenali berbagai jenis miras, khususnya karena banyak ditemukan miras racikan yang beredar bebas. Masyarakat lokal memiliki pemahaman yang lebih mendalam terhadap peredaran produk ini.

Kedua, diperlukan lembaga khusus yang mampu melakukan pengawasan berkelanjutan dan menyeluruh, mulai dari jenis produk hingga aliran ekonominya.

"Pengawasan juga harus mencakup jenis produk. Ada banyak jenis anggur dan miras dengan berbagai kadar alkohol. Pakar industri perhotelan, misalnya, lebih memahami detail ini dan perlu dilibatkan," pungkas Derajad.

Seperti diketahui, munculnya Ingub Nomor 5 Tahun 2024 terkait pengendalian miras dan minuman beralkohol di DIY dipicu usai kasus penusukan yang dialami seorang santri di Prawirotaman, Kota Jogja pada 23 Oktober 2024.

Hal itu berawal dari cekcok antara pelaku dengan seseorang di hari sebelumnya. Pada hari selanjutnya yang sudah ditentukan, para pelaku mengajak teman-temannya untuk menenggak minuman keras dan memburu orang yang dimaksud.

Kendati begitu, orang yang disasar justru mengarah kepada dua santri yang tak mengetahui alasan mereka dikeroyok. Satu santri mengalami luka tusukan oleh pelaku penganiayaan.

Kasus itu mendapat respon besar dari ormas Banser yang berniat mengambil tindakan sendiri jika polisi tak berhasil menangkap para pelaku penusukan.

Sedikitnya ada 7 tersangka yang sudah ditangkap oleh Polresta Yogyakara dari insiden penusukan santri tersebut.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini