SuaraJogja.id - Kasus bunuh diri terus saja bertambah di Yogyakarta. Berdasarkan Dinas Kesehatan DIY, hingga akhir 2024 ini, sudah lebih dari 50 warga yang mengkhiri hidupnya dan kebanyakan korban bunuh diri merupakan Gen Z.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DIY, Joko Murdiyanto menyatakan, kerentanan bunuh diri Generasi Z dikarenakan tekanan hidup dan kematangan otak. Akibatnya mereka lebih mudah depresi dan mencari jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya.
"Risiko depresi itu seperti sebuah rumus matematika. Ancaman dikali kerentanan dibagi kapasitas. Semakin rentan mental dan spiritual seseorang, semakin tinggi risikonya," ungkapnya, Rabu (20/11/2024).
Menurut Ketua Program Studi D4 Keperawatan Anestesiologi Universitas Aisyiyah (Unisa) tersebut, Gen Z memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Meski unggul dalam adaptasi teknologi, generasi yang sering disebut "generasi stroberi" ini cenderung kurang tahan menghadapi tekanan.
Baca Juga:TPST Piyungan Overload, Menteri LHK Desak DIY Olah Sampah Sisa Makanan Jadi Cuan
Seringkali Gen Z lebih mudah menyerah karena kegagalan. Mereka juga sulit mengelola emosi dan stres dengan baik yang karena ingin hasil instan. Pada akhirnya mereka mengalami depresi berkepanjangan.
"Mereka sangat cepat beradaptasi dengan teknologi, tapi ada kecenderungan ingin hasil instan tanpa proses panjang. Ini menjadi tantangan tersendiri dalam dunia akademik yang membutuhkan proses dan kesabaran," kata dia.
Transisi dari SMA ke perguruan tinggi, menurut Joko menjadi masa kritis yang perlu mendapat perhatian khusus. Perubahan sistem pembelajaran dari pedagogik ke andragogik, ditambah jadwal yang lebih fleksibel, kerap membuat mahasiswa baru kewalahan dan mengalami stres.
Pola asuh yang kurang ideal dari lingkungan, terutama keluarga pun berpengaruh pada ketahanan mental Gen Z. Belum lagi nilai-nilai spiritual yang tak diajarkan dengan baik membuat mereka lebih mudah menyerah alih-alih berserah pada Sang Pencipta.
"Di SMA, siswa terbiasa dengan jadwal tetap dari pagi hingga siang. Di perguruan tinggi, mereka harus mengelola waktu sendiri dengan jadwal yang lebih fleksibel. Belum lagi menghadapi materi yang lebih kompleks ini yang membuat gen z rawan mengalami depresi," jelasnya.
Baca Juga:Gunung Merapi Muntahkan 162 Guguran Lava Sepekan, Warga Diimbau Waspada
Sementara Wakil Rektor IV Unisa Yogyakarta Mohammad Ali Imron menambahkan Gen Z seringkali terjebak dalam kesepian. Teori ini berdasarkan dinamika kehidupan masa kini karena Gen Z lebih kerap menatap layar gadget daripada bersosialisasi secara langsung.
Rata-rata anak Indonesia menghabiskan 150 menit sehari di depan gadget mereka, jauh lebih tinggi dibandingkan anak-anak di Singapura dan Jepang yang hanya 30 menit.
"Kurangnya aktivitas fisik atau inactivity menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya kasus anxiety [kecemasan], stres, hingga perilaku berisiko di kalangan anak muda Indonesia," ungkapnya.
Inactivity juga mendorong individu untuk mengambil risiko perilaku negatif yang sebenarnya tidak mereka inginkan. Salah satu solusi yang paling efektif adalah memperbanyak aktivitas fisik.
"Dengan aktivitas fisik, stres dan kecemasan dapat diredakan, sehingga kesehatan mental pun meningkat, imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi