SuaraJogja.id - Pendidikan inklusif sudah seharusnya diterapkan bagi semua anak untuk mengenyam pendidikan berkualitas. Isu itu yang coba dipotret melalui film 'Bird of a Different Feather'.
Debut penyutradaraan Manohara K, itu mengeksplorasi kondisi bocah berusia 12 tahun bernama Sonia yang mengidap albinisme di India.
Albinisme diketahui merupakan kelainan bawaan lahir yang menyebabkan pigmen tubuh, yakni melanin, menjadi berkurang atau tidak ada sama sekali. Sehingga mata, rambut, dan kulit cenderung pucat atau bahkan berwarna putih seluruhnya.
Sonia berasal dari keluarga miskin di desa kecil dekat Bengaluru. Ayahnya yang pecandu alkohol yang hampir tak menganggapnya karena kondisinya, kasih sayang itu datang hanya dari ibu dan adiknya.
Baca Juga:JAFF19 Kembali, 180 Film Asia Pasifik Siap Tayang di Yogyakarta
Perjalanan Sonia dimulai ketika diterima di sekolah baru di kota itu dengan teman-teman sekelas baru. Namun pandangan sinis hingga diskriminatif karena penampilannya, dan guru-gurunya apatis membuatnya harus berjuang ekstra.
Film ini merupakan perjalanan Sonia hingga bertransformasi dari remaja yang diremehkan menuju perempuan yang dapat berdamai dengan kondisinya.
Tidak sekadar membawa penonton untuk mengikuti perjalanan Sonia menjalani hari-harinya. Film yang diangkat dari memoar dari penulis naskah film ini sendiri, seolah membuka mata masyarakat tentang makna inklusivitas itu sendiri.
Fasilitator di Sekolah SALAM, Gernata Titi mengatakan tak hanya menekankan pada institusi pendidikan formal. Film ini menyentil pula peran penting orang tua sebagai pendidikan pertama bagi anak di rumah.
"Ki Hajar Dewantara, beliau pernah menulis tentang tri sentra. Pendidikan tidak hanya berpusat di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, pendidikan seharusnya berpusat di keluarga terlebih dahulu, kemudian sekolah sebagai sistem pendidikan formal dan lapisan ketiga adalah masyarakat. Jadi menurut saya kalau kita bicara tentang pendidikan, ketiga ekosistem itu, punya tanggung jawab terhadap pendidikan seorang anak," kata Titi seusai pemutaran, di Empire XXI Yogyakarta, Jumat (22/11/2024).
Baca Juga:Angkat Isu Poligami, Film Tengah Sampaikan Perspektif Baru Soal Hukum Keluarga Islam
Ketika kemudian ditarik kepada kondisi pendidikan di Indonesia sekarang, Titi menyebut konsep tri sentra itu belum sepenuhnya dipahami secara luas. Orang tua tak jarang hanya berfokus pada pendidikan formal.
Tanpa memikirkan dampak lebih lanjut terhadap anak, pendidikan di rumah dan sosial lantas diabaikan. Hal itu harus mulai disadari oleh para orang tua untuk menciptakan kondisi yang lebih baik.
"Kadang mereka hanya menyekolahkan dan berharap anak-anak mereka menjadi pintar dan itu hanya tanggung jawab sekolah, mereka bahkan tidak menyadari bahwa rumah mereka adalah tempat pertama dan utama di mana pendidikan dimulai," tandasnya.
Dia berharap film ini akan meningkatkan kesadaran tidak hanya tentang Albinisme tetapi tentang anak-anak berkebutuhan khusus lainnya, yang juga tak jarang masih dipandang sebelah mata.
"Saya senang karena dengan film seperti ini, kita bisa merasakan itu, membuka kesadaran lebih luas. Kesadaran terutama pada anak berkebutuhan khusus. Harapannya akan lebih banyak film dengan menyoroti isu-isu semacam ini," ucapnya.
Produser film 'Bird of a Different Feather' Prithvi Konanur berharap film ini dapat bertemu dengan lebih banyak audiens di berbagai negara. Terkhusus di India sendiri sehingga dapat lebih meningkatkan kesadaran tentang pendidikan inklusif.
"Saya ingin memutar film ini kepada anak-anak. Satu hal yang dapat kita coba lakukan adalah mencoba untuk membuat pemerintah mengaturnya di beberapa level dan mencoba menyampaikannya ke sekolah-sekolah dan menunjukkannya kepada anak-anak secara gratis. Itu satu hal yang dapat kita lakukan," ucap Prithvi.
Bird of a Different Feather sendiri merupakan film pembuka di acara Alternativa Film Award & Festival 2024 yang digelar di Empire XXI Yogyakarta. Festival ini masih akan berlangsung hingga 29 November 2024 mendatang.