
Misalnya, memasukkan modul anti-korupsi dalam kurikulum pelatihan guru atau membuat sistem penghargaan bagi sekolah yang transparan.
Ada tantangan terbesar lain yakni mengubah narasi bahwa 'kejujuran itu mahal'.
Tak jarang masih ada di sekolah, siswa jujur sering dianggap naif, sementara yang curang dipuji sebagai 'pintar mencari celah'.
Menurutnya, anggapan ini adalah kegagalan sistem evaluasi yang terlalu kaku.
Baca Juga:Kantor Wakil Rakyat Dikunci, Aspirasi Pendidikan Terkunci? Hardiknas Berujung Ricuh di Yogyakarta
Apalagi ujian nasional atau ujian ujian sejenis yang sifatnya menguji hafalan tanpa critical thinking.
Padahal, Dede mengambil contoh negara lain, seperti Finlandia misalnya, sudah membuktikan bahwa kurikulum fleksibel dan minim ujian standar justru melahirkan generasi kreatif.
Tidak hanya di lingkungan sekolah, imbuhnya, di lingkungan kampus juga marak praktik gratifikasi dan nepotisme. Untuk mencegah dan mengatasi praktik ini, ada sebaiknya membuat kebijakan yang lebih radikal.
Salah satunya, pihak kampus harus mempublikasikan rincian anggaran secara real-time di platform daring sehingga masyarakat tahu tarif dan biaya di setiap layanan.
Selanjutnya untuk sistem pengadaan barang harus melibatkan auditor independen, bukan sekadar panitia internal yang bisa diatur.
Baca Juga:Kemarau 2025 Lebih Singkat dari Tahun Lalu? Ini Prediksi BMKG dan Dampaknya
Sudah saatnya kampus menerapkan prinsip 'blind selection' dalam rekrutmen vendor atau staf secara lebih serius. Nama perusahaan dan pemiliknya disembunyikan saat penilaian proposal.