Forum Purnawirawan TNI Minta Gibran Dimakzulkan, Ini Kata Ahli Hukum Tata Negara UGM

Penting untuk membedakan antara dorongan politik simbolik dan mekanisme hukum.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Minggu, 04 Mei 2025 | 18:27 WIB
Forum Purnawirawan TNI Minta Gibran Dimakzulkan, Ini Kata Ahli Hukum Tata Negara UGM
Bupati Bogor, Rudy Susmanto dampingi Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka [Diskominfo]

SuaraJogja.id - Kekinian muncul wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Wacana itu mencuat ke ruang publik usai pernyataan sikap dari Forum Purnawirawan TNI yang menyoroti proses pencalonannya dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu.

Menanggapi hal tersebut, pakar hukum tata negara UGM, Yance Arizona, menuturkan bahwa permintaan pemberhentian Wakil Presiden Gibran oleh Forum Purnawirawan TNI kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) belum memiliki dasar hukum yang memadai.

Dia menilai, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, setiap proses pemakzulan harus berjalan berdasarkan ketentuan konstitusional. Tidak bisa hanya kemudian semata-mata didorong oleh opini atau tekanan politik.

Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara dorongan politik simbolik dan mekanisme hukum yang sungguh-sungguh dapat ditempuh.

Baca Juga:Joki dan Kecurangan Marak di Kampus, Dosen UGM Usulkan Reformasi Radikal

"Argumen-argumennya juga tidak begitu solid secara hukum. Belum tentu ini memang satu proses hukum yang sedang digulirkan, tapi bisa jadi proses politik yang justru menjadikan spotlight pemberitaan media terarah ke Wakil Presiden Gibran," kata Yance, dikutip Minggu (4/5/2025).

Dipaparkan Yance, secara konstitusional, mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah diatur secara tegas dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal tersebut menyatakan bahwa pemakzulan hanya dimungkinkan apabila yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran hukum.

Antara lain berupa pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana korupsi, penyuapan, kejahatan berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Hal-hal itu sebagai dasar bahwa prosedur pemakzulan tidak dapag ditempuh secara sewenang-wenang. Melainkan diperlukan pembuktian hukum yang kuat dan berlandaskan ketentuan konstitusi.

Baca Juga:Bakso Kotak, Kuah Inovatif: Eksperimen Rasa Magister UGM ke Gerobak yang Inspiratif

"Kalau kita kaitkan dengan impeachment clauses itu yang ada di Pasal 7A, kita tidak melihat mana cantelan yang akan dipakai untuk memberhentikan Gibran sampai hari ini," tegasnya.

Sementara itu MPR bukan lembaga yang memulai proses pemakzulan. Melainkan institusi yang menjalankan keputusan akhir setelah tahapan-tahapan sebelumnya dilalui.

Pintu masuk proses pemakzulan itu terletak di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR dapat menggunakan hak angket atau langsung mengajukan hak menyatakan pendapat jika terdapat dugaan bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sesuai dengan Pasal 7A.

Proses ini melibatkan berbagai lembaga negara dan menuntut adanya kehati-hatian dalam setiap tahapannya.

"Nanti kalau MK menyatakan terbukti, itu bisa menjadi dasar untuk MPR mengadakan sidang dan memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden," tuturnya.

Jika melihat konteks kasus Wapres Gibran, muncul pertanyaan apakah dugaan pelanggaran etik atau manipulasi dalam proses pencalonannya dapat dimasukkan sebagai pelanggaran berat atau perbuatan tercela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A.

Yance bilang bahwa secara teoretis hal tersebut bisa dikaitkan ke dalam impeachment clauses. Terutama jika terbukti terdapat intervensi kekuasaan dalam proses pencalonan.

Kendati demikian aspek ini membutuhkan penyelidikan hukum yang cermat untuk membuktikan adanya pelanggaran yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela atau penghilangan syarat konstitusional.

"Kalau memang Gibran atau orang tuanya, mantan Presiden Jokowi, terlibat dalam manipulasi proses persidangan MK atau di KPU, itu bisa dijadikan dasar untuk melihat ada manipulasi yang sudah terjadi dan sebenarnya Gibran tidak memenuhi syarat sebagai calon Wakil Presiden," terangnya.

Ia juga menekankan bahwa batas usia calon Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam UUD 1945 adalah 40 tahun.

Dalam kasus Gibran, persoalan usia menjadi titik krusial, mengingat ia dilantik sebagai Wakil Presiden saat usianya belum mencapai batas minimal tersebut.

Hal ini membuka ruang bagi interpretasi konstitusional yang lebih luas. Terutama jika proses hukum membuktikan bahwa syarat tersebut memang dilanggar secara sistematis dan disengaja.

Menurutnya, wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan konstitusional yang ketat.

Yance menuturkan pendekatan hukum yang sahih justru harus dimulai dari DPR melalui pembentukan panitia angket atau lewat gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas dasar pencalonan yang dianggap tidak sah.

Kedua jalur ini memungkinkan terbukanya ruang pembuktian atas dugaan manipulasi dan pelanggaran syarat usia dalam pencalonan Gibran.

Artinya, di tengah riuhnya opini publik, proses pemakzulan hanya sah jika berangkat dari fondasi hukum yang kokoh, bukan sekadar gelombang ketidakpuasan politik.

"Jika memang terbukti, itu bisa jadi dasar impeachment karena menyangkut syarat konstitusional. Tapi tetap harus dibuktikan secara hukum, bukan sekadar tekanan politik," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak