Dulu Didoktrin JAD, Kini Jualan Ayam Bakar di Sleman: Kisah Inspiratif Mantan Teroris Tobat

Mantan napi teroris ini mulai sadar ketika ada serangan di Mako Brimob 2018 silam.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Minggu, 18 Mei 2025 | 09:55 WIB
Dulu Didoktrin JAD, Kini Jualan Ayam Bakar di Sleman: Kisah Inspiratif Mantan Teroris Tobat
Ismail Alamsyah saat berbincang-bincang di Polda DIY, Kamis (15/5/2025). [Hiskia/suarajogja]

SuaraJogja.id - Ismail Alamsyah tak pernah menyangka hidupnya akan berputar sejauh ini.

Usai melewati masa kelam sebagai mantan narapidana terorisme, lelaki kelahiran Curup, Bengkulu, 17 Februari 1969, itu kini mengabdikan hidupnya untuk keluarga dan warung ayam bakar di Sleman.

Kisah itu berawal dari angan-angannya untuk berjihad ke saat konflik bersenjata di Suriah pada 2014 silam.

"Setelah saya melihat, 'wah ini saya terpanggil untuk berjihad di sana [Suriah]' gitu," kata Ismail saat ditemui di Polda DIY, beberapa waktu lalu.

Baca Juga:UGM Digugat Rp1.069 Triliun Soal Ijazah Jokowi, Rupiah Bisa Jadi Rp20 Ribu?

Sejak saat itu, dia mulai mencari jalur untuk bisa bergabung ke Suriah. Hingga pada akhirnya dipertemukan dengan sebuah kelompok kecil yang memiliki visi sama dengannya yakni berjihad.

Kelompok itu diketahui adalah Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang merupakan kini diketahui sebagai kelompok radikal.

JAD yang dibentuk sekitar tahun 2015 oleh Aman Abdurrahman itu dikenal sebagai afiliasi dari ISIS di Indonesia. Kelompok tersebut diketahui bertanggung jawab atas sejumlah aksi teror, termasuk pengeboman di Surabaya pada 2018 silam.

"Akhirnya tercantol sama kelompok JAD ini," ucapnya.

Sebelum keberangkatan, Ismail mengikuti berbagai pelatihan fisik dan kajian agama. Sebagai atlet bela diri yang pernah menjuarai PON dan mendapat ranking 4 di kejuaraan dunia, ia diminta melatih anggota kelompok itu.

Baca Juga:Berbah Sleman Akhirnya segera Punya SMA Negeri, Warga Tak Perlu Sekolah ke Kecamatan Lain

Kendati demikian, Ismail mengakui, saat itu tak sepenuhnya paham arah gerakan tersebut usai berbagai kajian itu. Ia hanya merasa tujuannya untuk bergabung jelas yakni berjihad.

"Kita belum tahu, belum paham, yang penting kita mau berangkat saja," tuturnya.

Namun, perjalanan tak semulus rencana. Ia bahkan belum sempat pergi ke Suriah.

Kabar dari sejumlah rekan kelompok yang lebih dulu berangkat sedikit membuatnya berpikir ulang.

Tak sedikit dari mereka mengaku kondisi di medan perang sangat berat. Kisahnya cukup berbeda ketika Ismail bilang bahwa sang istri mengetahui langkahnya sejak awal bergabung kelompok itu.

Dia bahkan sudah berpesan kepada sang istri untuk menjaga anak-anak ketika nantinya ditinggal untuk berjihad.

Ismail mulai menyadari kesalahan langkahnya setelah peristiwa kerusuhan oleh napiter di Rutan Cabang Salemba di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat 2018 silam. Ia mempertanyakan arah perjuangan kelompoknya.

"Saya sadar, ketika peristiwa mako [Brimob], kok begini, janji mau ke Syam [Suriah], tapi kok gini," kenangnya.

Ditambah aksi teror bom gereja di Surabaya yang melibatkan satu keluarga dan mengakibatkan belasan orang tewas.

Kedua peristiwa ini memicu respons dari pemerintah dan DPR untuk merevisi Undang-Undang Anti-terorisme, yang kemudian disahkan pada 25 Mei 2018.

Pada saat itulah, Ismail pun ikut ditangkap sebagai bagian dari kelompok yang dianggap radikal.

"2018 itu baru akhirnya pemerintah memutuskan untuk menangkap seakar-akarnya kelompok ini [JAD], termasuk saya juga tertangkap," ungkapnya.

Ia divonis dua tahun penjara.

Kesadarannya makin kuat ketika menjalani masa tahanan di Lapas Gunung Sindur. Ia mulai melihat sisi-sisi lain dari kelompoknya dan tak melihat ada kesesuaian lagi.

Titik baliknya saat Ismail mendapat tekanan dari sesama tahanan yang berasal dari kelompoknya, karena menyapa petugas lapas dengan salam.

Sebenarnya dia sudah sejak lama ingin keluar dari lingkaran itu. Namun Ismail sempat takut dilabeli kafir dan merasa tidak enak oleh sesama anggota kelompoknya.

Namun akhirnya, akal sehat mengalahkan ketakutan itu.

Di dalam ruang tahanan itulah, Ismail mulai berpikir lebih rasional dan akhirnya berikrar setia kepada NKRI.

"Pakai akal saja sudah, agama itu kan pakai akal. Kita tidak bisa ambil satu ayat saja. Ketika ayat itu untuk menguntungkan kita diambil seenak-enaknya," ucapnya.

"Jangan ada kata enggak enak di hati, ketika akal sudah berbicara, keluar aja," imbuhnya.

Ia menyadari banyak yang terjebak dalam pemahaman ekstrem dan radikal sebab kondisi ekonomi mencekik dan keterbatasan pendidikan.

Menurutnya kelompok masyarakat itu yang paling rawan terjerumus dalam kelompok-kelompok radikal.

Menutup perbincangan ini, Ismail berpesan kepada siapapun untuk lebih waspada. Pasalnya penyusupan ideologi radikalisme itu bisa masuk dari maja saja.

Siapa pun yang mendengar ajakan-ajakan mencurigakan, entah lewat kajian, warung kopi, atau bahkan media sosial harus lebih cermat lagi.

"Pengalaman saya ketika ada pemahaman seperti itu di mana pun, tidak usah kajian, misal ngobrol di warkop, atau chatting, di manapun pasti ada yang menyusupi radikalisme, nanti kita pakai akal saja," tegasnya.

"Ketika dia mengajak untuk membunuh orang, bergabung ke kelompok-kelompok kecil yang tidak kenal, itu hati-hati saja. Kalau sudah dirasa menyimpang mending kita keluar. Kalau pemahaman sudah jauh dari NKRI, Pancasila, dan menyimpang mending menjauh," tambahnya.

Kini, Ismail memilih jalan yang jauh lebih damai yakni melanjutkan usaha yang sudah dia rintis sejak tahun 2000 silam yakni membuka warung ayam bakar 'Bu Tuti' di Jalan Perumnas Condongsari, Sleman.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak