Makan Bergizi Gratis Jadi Bancakan? ICW Bongkar Celah Korupsi di Perpres Baru Pengadaan

Erma juga menilai bahwa sampai saat ini belum ada kejelasan mengenai metode pemilihan atau penunjukan penyedia.

Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 11 Juni 2025 | 21:50 WIB
Makan Bergizi Gratis Jadi Bancakan? ICW Bongkar Celah Korupsi di Perpres Baru Pengadaan
Sejumlah siswa menyantap makanan MBG. [Antara]

SuaraJogja.id - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Erma Nuzulia Syifa, mengungkapkan adanya persoalan dalam ketentuan perluasan kriteria penunjukan langsung, termasuk untuk pelaksanaan program prioritas pemerintah, bantuan pemerintah, serta bantuan presiden.

Aturan tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018 mengenai Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah penerapan penunjukan langsung dalam program prioritas pemerintah, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, dan program sejenis lainnya.

Menurut Erma, penerapan penunjukan langsung pada program prioritas nasional ini berisiko memperkaya pihak-pihak tertentu yang menjadi penyedia, khususnya mereka yang memiliki kedekatan dengan pemerintah.

Baca Juga:Dugaan Korupsi Laptop: Ke Mana Rp9,9 Triliun Anggaran Pendidikan? Nadiem Makarim Harus Jawab

"Selain itu, mekanisme seperti ini membuka peluang bagi penyedia yang tidak memiliki kapasitas memadai, hanya karena memiliki hubungan dekat dengan pihak pengambil keputusan," ujar Erma dalam keterangannya di Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (11/6/2025).

Ia menambahkan, sebelumnya, dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021, aturan penunjukan langsung diterapkan secara terbatas. Misalnya, hanya berlaku jika penyedia tunggal yang mampu menyediakan barang tertentu atau dalam pelaksanaan kegiatan internasional yang diinstruksikan langsung oleh Presiden.

"Berdasarkan kajian yang sudah kami lakukan, khususnya terkait program MBG, ditemukan beberapa masalah yang seharusnya dapat dihindari," lanjutnya.

Erma juga menilai bahwa sampai saat ini belum ada kejelasan mengenai metode pemilihan atau penunjukan penyedia dalam program prioritas Presiden seperti MBG. Ia menduga, program tersebut telah dijalankan lebih dahulu sebelum ketentuannya dimasukkan ke dalam Perpres.

"Perpres ini justru terkesan mengesahkan atau melegalkan praktik yang seharusnya tidak terjadi sebelumnya," tegasnya.

Baca Juga:BNI Bermitra dengan BUMDes Yogyakarta, Wujudkan Ketahanan Pangan dan Pemerataan Ekonomi Desa

ICW dan TII Soroti Berbagai Masalah dalam Perpres 46/2025

ICW bersama Transparency International Indonesia (TII) menilai bahwa Perpres Nomor 46 Tahun 2025 mengandung sejumlah aturan yang bermasalah dan berpotensi memperlemah sistem pengadaan barang dan jasa.

Salah satu yang dikritisi adalah aturan mengenai ambang batas pengadaan langsung.

Dalam ketentuan ini, pengadaan dengan nilai transaksi hingga Rp400 juta hingga maksimal Rp100 miliar dapat dilakukan tanpa melalui proses tender terbuka.

ICW dan TII menilai kebijakan tersebut bukan menciptakan efisiensi, melainkan berpotensi melegalkan praktik yang menghindari akuntabilitas. Mereka mengingatkan bahwa kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa merupakan salah satu sektor yang paling rawan.

Selain itu, perluasan kriteria penunjukan langsung, termasuk untuk program prioritas pemerintah, bantuan pemerintah, dan bantuan presiden, dinilai dapat memperbesar risiko terjadinya konflik kepentingan.

Hal ini berbahaya karena proses penunjukan penyedia tidak disertai transparansi dan akuntabilitas yang memadai.

ICW dan TII juga menyoroti perluasan wewenang menteri sebagai pengguna anggaran yang dapat secara sepihak menetapkan program prioritas atas arahan Presiden. Keputusan tersebut dinilai terlalu subjektif dan minim kontrol.

Masalah lain yang menjadi perhatian adalah melemahnya kewajiban penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Kondisi ini dikhawatirkan merugikan pelaku usaha lokal dan menurunkan tingkat partisipasi dalam pengadaan dari sektor dalam negeri.

Perluasan pengadaan swakelola dan pengadaan yang dikecualikan juga dianggap dapat mengurangi keterlibatan pengawasan publik, karena pelaksanaan pekerjaan akan lebih banyak dilakukan secara internal dengan akses informasi yang terbatas.

Ketentuan dalam Pasal 77 tentang Pengawasan dan Pengaduan Publik juga dinilai tidak mengatur secara jelas tentang pelibatan masyarakat yang inklusif, sehingga membuka celah kurangnya pengawasan.

Sementara itu, Pasal 78 yang mengatur sanksi administratif juga dikritik karena dinilai tidak memberikan perbaikan signifikan terhadap sistem pengawasan yang selama ini dianggap lemah.

ICW dan TII juga menyoroti perluasan wewenang lembaga lain dalam Pasal 86A untuk mengatur ketentuan tambahan di luar Perpres Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ). Hal ini dinilai berpotensi mengabaikan prosedur yang sudah ditetapkan dalam Perpres PBJ.

Kedua lembaga tersebut menegaskan bahwa permasalahan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa tidak cukup diselesaikan hanya dengan Peraturan Presiden.

Mereka mendorong percepatan penyusunan Undang-Undang Pengadaan Publik yang lebih transparan dan partisipatif.

Proses pembentukan undang-undang dinilai lebih melibatkan banyak pihak dibandingkan dengan penerbitan Perpres yang cenderung tertutup dari partisipasi publik.

Artikel di Suarajogja ini sudah lebih dulu terbit di Suara.com dengan judul: Kuliti Program MBG Prabowo, ICW Curigai Penunjukan Langsung Vendor di Lingkaran Rezim

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini