SuaraJogja.id - Pemda DIY gencar melakukan penataan kawasan Sumbu Filosofi usai ditetapkan sebagai Warisan Dunia Tak Benda oleh UNESCO.
Mulai dari pembongkaran dan relokasi Tempat Khusus Parkir Abu Bakar Ali (TKP ABA), penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) ke Teras Malioboro, penutupan Plengkung Gading dan Beteng Keraton hingga kawasan-kawasan penunjang lainnya.
Namun di tengah penataan yang meliputi area Tugu-Keraton-Panggung Krapyak sebagai kawasan strategis nasional berbasis budaya dinilai masih ada sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang mesti diperhatikan Pemda DIY.
Di antaranya arah filosofis dan sosial dari kebijakan tersebut, yakni quo vadis atau hendak dibawa ke mana wajah baru Yogyakarta.
Baca Juga:Ditertibkan demi Sumbu Filosofi, Kridosono Kini Bebas Reklame Raksasa
"Penataan kawasan Malioboro dan sekitarnya memang membuat tata ruang lebih rapi, tetapi belum menyentuh substansi filosofis secara utuh. Contohnya penertiban PKL dan penataan Malioboro membuat kawasan ini lebih tertata, pejalan kaki lebih nyaman. Tapi, nuansa khas Malioboro sebagai ruang interaksi sosial antara pedagang dan wisatawan jadi berkurang," papar pakar pariwisata dari Stipram, Kiky Rizki di Yogyakarta, Kamis (10/7/2025).
Menurut Kaprodi S1 Pariwisata Stipram ini, langkah kebijakan seperti pelarangan kendaraan malam hari dan relokasi PKL patut diapresiasi dari sisi ketertiban, Namun nampaknya belum sepenuhnya mempertimbangkan akses masyarakat lokal.
Kondisi itu memunculkan masalah lahan parkir dan kenyamanan pengunjung lokal. Saat ini banyak parkir liar bermunculan di kawasan Malioboro. Kemacetan parah terjadi saat akhir pekan atau libur panjang sekolah seperti saat ini.
"Kalau malam sekarang ditutup jam enam sampai sembilan, kendaraan enggak boleh masuk. Ya, jadi nyaman jalan-jalan, tapi kita juga kesulitan parkir, harus jalan jauh. Ini harus diperhatikan," tandasnya.
Lebih dari sekadar ketertiban, lanjut Kiky, Pemda DIY perlu menegaskan arah dan konsep pariwisata yang hendak dibangun, bukan sekadar rapi secara fisik.
Baca Juga:Baru 14 TKM Beroperasi di Malioboro, Hasto Desak OPD Tambah Hingga Titik Nol Km
Malioboro perlu tujuan jelas akan dijadikan pusat wisata belanja atau tetap ingin menonjolkan citra kota budaya maupun beralih ke arah wisata tematik.
"Pariwisata Jogja ini sangat luas, semua ada. Tapi yang belum terlihat itu satu, mau dibawa ke mana, branding-nya mau seperti apa," tandasnya.
Hal senada disampaikan pakar pariwisata lainnya, Amin Kiswantoro yang menyatakan branding atau narasi besar seperti Sumbu Filosofi harus diikuti dengan program-program yang konkret, realistis, dan partisipatif.
"Kalau kita mau mengangkat garis imajiner sebagai brand Jogja, maka harus jelas batasnya, narasinya, dan titik-titiknya. Selama ini banyak yang simpang siur. Termasuk yang kami kaji di Imogiri, secara geografis agak jauh, tapi ternyata masuk dalam konteks filosofi," katanya.
Jika narasi garis imajiner ini mau dijadikan identitas kepariwisataan Yogyakarta, maka semua pihak harus dilibatkan, termasuk Keraton, akademisi, dan masyarakat adat.
Selain itu, pemahaman terhadap konsep tidak boleh sepotong-sepotong.
Garis imajiner itu bukan sekadar titik-titik di peta. Tapi menyangkut nilai historis, filosofis, hingga spiritualitas kota. Kalau mau diangkat, harus total, bukan hanya ditata fisiknya saja.
"Kajian perlu dilakukan, tidak berhenti di ruang seminar, tapi harus turun dalam bentuk tata ruang yang terintegrasi, rencana jangka panjang, hingga edukasi publik," ungkapnya.
Deni Dwi Cahyono, Kaprodi S2 Pariwisata Stipram menambahkan, ada kebingungan arah branding kepariwisataan Yogyakarta.
Menurutnya, jika Bali sudah kuat dengan wisata spiritual dan medis, maka kota ini harus segera menetapkan arah yang lebih spesifik.
"Jogja ini mau dibawa ke arah mana? Ada yang bilang garis imajiner, tapi belum ada penegasan sebenarnya yang termasuk garis itu apa saja. Bahkan makam Imogiri juga sempat dikaji sebagai bagian dari garis itu," paparnya.
Stipram sendiri, ikut terlibat dalam berbagai kajian kebijakan Pemda DIY, termasuk survei belanja wisatawan, persepsi pengunjung, hingga kajian penguatan identitas budaya.
"Tapi kembali lagi, yang paling krusial itu di implementasi. Apakah kebijakan itu dijalankan sesuai semangatnya atau tidak," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi