Leptospirosis Mengganas di Jogja: Kasus Meroket Hampir 100 Persen, Angka Kematian Tembus 31 Persen

Yogyakarta hadapi lonjakan leptospirosis (kencing tikus) di 2025, kasus naik 100% dengan kematian 31%. Dinkes belum tetapkan KLB karena pasien terlambat berobat

Budi Arista Romadhoni | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 11 Juli 2025 | 14:45 WIB
Leptospirosis Mengganas di Jogja: Kasus Meroket Hampir 100 Persen, Angka Kematian Tembus 31 Persen
Ilustrasi tikus penyebar infeksi Leptospirosis. Kasus di Yogyakarta mengalami peningkiatan signifikan. (Pexels)

SuaraJogja.id - Kota Yogyakarta tengah menghadapi lonjakan kasus leptospirosis yang mengkhawatirkan sepanjang semester pertama tahun 2025. Tak hanya jumlah kasus yang meroket nyaris 100 persen, angka kematian akibat penyakit yang sering disebut kencing tikus ini juga sangat tinggi, mencapai 31 persen.

Situasi ini memicu pertanyaan besar: dengan data yang begitu genting, mengapa Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Yogyakarta belum juga menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB)?

Berdasarkan data resmi Dinkes Kota Yogyakarta per 9 Juli 2025, telah tercatat 19 kasus leptospirosis, dengan 6 di antaranya berakhir dengan kematian.

Angka ini menunjukkan peningkatan drastis dibandingkan sepanjang tahun 2024, yang hanya mencatatkan 10 kasus dengan 2 kematian dan case fatality rate (CFR) sebesar 20 persen.

Baca Juga:Leptospirosis Renggut 3 Nyawa di Sleman, Dinkes: Segera Periksa Jika Alami Gejala Ini

Kepala Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit, Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Dinkes Kota Jogja, Lana Unwanah, mengakui bahwa situasi ini sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai KLB dari sisi epidemiologi.

"Kalau secara epidemiologi harusnya iya ya [KLB], nanti kami konsultasikan ke pimpinan," kata Lana saat dikonfirmasi.

Salah satu pertimbangan utama belum ditetapkannya status KLB adalah karena mayoritas kasus kematian disebabkan oleh keterlambatan pasien dalam mengakses layanan kesehatan.

Hal ini sering kali terjadi karena gejala awal leptospirosis yang tidak spesifik dan mirip dengan penyakit infeksi umum lainnya.

"Yang menjadi masalah adalah gejala klinis pada manusia itu relatif tidak spesifik, jadi ada demam, ada nyeri kepala, kemudian ada nyeri otot, dengan keseluruhan yang disebabkan oleh infeksi pada umumnya, infeksi virus maupun infeksi bakteri," terangnya.

Baca Juga:Sudah Ada Temuan Puluhan Kasus Leptospirosis Sepanjang 2023, Dinkes Kota Jogja Imbau Masyarakat Jaga Kebersihan

Akibatnya, banyak pasien tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi bakteri Leptospira yang berbahaya.

"Sehingga di awal memang seringkali kita tidak menjadi, hampir seluruh pasien yang didiagnosis ini juga tidak menyangka bahwa ini tertular leptospirosis," sambung Lana.

"Jadi itu yang harus kita waspadai, sehingga dari beberapa kasus ini memang rata-rata problem akses layanannya itu agak lambat gitu, nggak langsung [ditangani]," ucapnya.

Meskipun belum menetapkan KLB, Pemerintah Kota Yogyakarta telah mengambil langkah kewaspadaan dengan menerbitkan Surat Edaran Wali Kota Nomor 100.3.4 / 2407 Tahun 2025 Tentang Kewaspadaan Kejadian Leptospirosis dan Hantavirus. Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari surat edaran Gubernur DIY untuk memperkuat pengendalian penyakit tersebut.

"Ya ini kita berharap jangan sampai kasus di semester dua ini terus bertambah," tandasnya.

Bukan Cuma Petani, Hobi Mancing dan Berkemah Juga Berisiko

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak