Dua Siswa, Satu Kelas: Kisah Pilu SD Negeri di Sleman yang Kekurangan Murid

Lina Setiawati selaku Wali Kelas 1 SDN Minomartani 2 mengakui memang fenomena ini bukan kali pertama terjadi.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 14 Juli 2025 | 12:26 WIB
Dua Siswa, Satu Kelas: Kisah Pilu SD Negeri di Sleman yang Kekurangan Murid
Kondisi dua orang siswa di kelas 1 SD Negeri Minomartani 2, Ngaglik, Sleman, saat hari pertama masuk sekolah, Senin (14/7/2025). [Hiskia/Suarajogja]

SuaraJogja.id - SD Negeri Minomartani 2 di Ngaglik, Kabupaten Sleman kembali mengalami kekurangan siswa.

Pasalnya pada tahun ajaran 2025/2026 ini hanya ada dua siswa yang duduk di bangku kelas 1 sekolah tersebut.

Lina Setiawati selaku Wali Kelas 1 SDN Minomartani 2 mengakui memang fenomena ini bukan kali pertama terjadi. Dia menuturkan bahwa tahun sebelumnya pun jumlah siswa baru hanya dua orang.

"Tahun lalu dua juga," ujar Lina, kepada wartawan, Senin (14/7/2025).

Baca Juga:SD Negeri Sepi Peminat: Disdik Sleman Ungkap Penyebab dan Solusi Atasinya

Diungkap Lina, kondisi ini bukan tanpa sebab. Dia menyebut bahwa jumlah anak usia sekolah di wilayah tersebut memang menurun drastis.

Alih-alih jumlah anak usai sekolah yang terus bertumbuh justru area sekitar masih didominasi oleh penduduk lanjut usia (lansia) yang mencapai hampir 80 persen.

"Memang populasi anak di sini [sedikit], Pak RT, Pak RW itu sudah lapor ke kita, datanya 80 persen lansia di sini," ungkapnya.

Lina bilang bahwa banyak pasangan muda yang justru memilih untuk merantau ke luar kota dan membawa serta anak-anak mereka. Hal ini membuat desa kekurangan anak usia SD.

Sehingga setiap tahun sekolahnya sulit menerima murid dalam jumlah ideal.

Baca Juga:Sekolah Rakyat DIY di Tahun Ajaran Baru, 275 Siswa Diterima, Pemda Siapkan MOS Berkualitas

"Jadi anak-anak ada, tapi ya tidak mencukupi sesuai ini," tuturnya.

Kendati hanya mengajar dua siswa, Lina tetap menjalankan proses belajar dengan pendekatan bertahap.

Apalagi salah satu dari dua anak yang baru masuk di kelas 1 itu mereka bahkan tak mengenyam pendidikan taman kanak-kanak (TK). Meskipun memang usianya sudah masuk kriteria untuk SD.

"Kita enggak langsung ke materi tapi selama 3 bulan di awal ya, apalagi ini yang satu enggak TK juga," ucapnya.

Lina menegaskan tetap semangat dan berkomitmen untuk mengajar dua orang siswa tersebut.

Selain itu, ia melihat justru hal ini sebagai kesempatan untuk memberikan perhatian maksimal.

"Insya Allah malah lebih fokus ke anak-anak, meskipun juga hasil dipengaruhi dari input anak-anak. Apapun kondisinya kita tetap maksimal," tandasnya.

Sebagai salah satu orang tua murid, Tari mengaku tidak keberatan meskipun anaknya hanya belajar bersama satu teman sekelas. Menurut dia justru anaknya akan bisa lebih fokus dengan sedikitnya siswa itu.

"Ya sebetulnya nggak apa-apa, malah lebih fokus sih gurunya ngajar anaknya," ujar Tari.

Puluhan SD Kurang Siswa

Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Sleman mencatat ada 62 Sekolah Dasar (SD) Negeri yang kekurangan siswa pada Sistem Penerimaan Siswa Baru (SPMB) 2025 tahun ajaran 2025/2026.

Puluhan SD Negeri di Bumi Sembada itu hanya tercatat mendapat kurang dari 10 siswa.

"Dari 374 SD Negeri itu, setelah proses SPMB dan daftar ulang dengan jalur yang ada, itu ada 62 SD Negeri yang penerimaan murid di bawah 10," kata Sekretaris Dinas Pendidikan Sleman, Sri Adi Marsanto.

Menurut Sri Adi, ada dua penyebab utama yang membuat sejumlah SD Negeri sepi peminat.

Pertama, meningkatnya minat orang tua untuk menyekolahkan anak ke lembaga pendidikan swasta yang dianggap memiliki kualitas lebih baik.

"Sebabnya apa, pertama kecenderungan orang tua atau wali murid menyekolahkan anak untuk jenjang TK atau PAUD dan SD itu lebih tinggi ke swasta," ujarnya.

Dia tidak menampik bahwa sebagian orang tua memilih sekolah swasta sebab dianggap unggul dalam segi manajemen dan kualitas guru.

"Ya bisa jadi dari segi quality itu di bawahnya, kalau sekolah swasta di bawah yayasan yang kuat otomatis manajemen bagus, kompetensi guru dan lainnya," ucapnya.

Selain itu, faktor kedua tak lepas dari rendahnya populasi anak usia masuk sekolah dasar di beberapa wilayah.

"Bisa jadi masyarakat di situ khususnya siswa yang berusia sekolah SD itu sedikit. Mungkin SD 3-4 atau di bawah balita misalkan," imbuhnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak