Haji Jalur Laut: Mimpi atau Ilusi? Kemenag DIY Ungkap Fakta Terkini

Apalagi regulasi dari Pemerintah Arab Saudi semakin ketat.

Muhammad Ilham Baktora
Selasa, 15 Juli 2025 | 18:45 WIB
Haji Jalur Laut: Mimpi atau Ilusi? Kemenag DIY Ungkap Fakta Terkini
Analis Kebijakan Ahli Muda pada Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kanwil Kemenag DIY, Basori Alwi menyampaikan paparan disela FORPUHY di Yogyakarta, Selasa (15/7/2025). [Kontributor/Putu]

SuaraJogja.id - Di tengah ketatnya regulasi haji yang diberlakukan Pemerintah Arab Saudi, Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mewacanakan pemberangkatan jemaah haji melalui jalur laut.

Hal itu sebagai opsi alternatif memperluas akses masyarakat untuk ibadah ke tanah suci.

Namun wacana tersebut hingga kini belum sampai di tingkat daerah.

Alih-alih jadi pembahasan, Kemenag memilih fokus utama pemerintah saat ini adalah peningkatan mutu layanan jemaah, bukan perubahan jalur transportasi.

Baca Juga:KPK Dalami Korupsi Kuota Haji di Era Gus Yaqut, Skandal Sebelum Tahun 2024 Terkuak

"Betul, sempat muncul ide untuk menghidupkan kembali jalur laut seperti era 60-an dan 70-an sebagai solusi memangkas antrian dan menurunkan biaya. Tapi hingga hari ini, belum ada isu kuat atau keputusan formal soal itu," ungkap Analis Kebijakan Ahli Muda pada Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kanwil Kemenag DIY, Basori Alwi disela Forum Pengusaha Umroh dan Haji (FORPUHY) di Yogyakarta, Selasa (15/7/2025).

Menurut Basori, wacana haji jalur laut, meskipun menarik dari sisi efisiensi biaya, belum menjadi agenda resmi pembahasan pemerintah.

Apalagi regulasi dari Pemerintah Arab Saudi semakin ketat, khususnya dalam hal zonasi layanan, input sistem visa e-Hajj, dan penunjukan syarikah [perusahaan penyedia layanan].

Kebijakan itu membuat Pemerintah Indonesia harus lebih sigap dalam menyesuaikan sistem pelayanan agar tetap sesuai standar dan tepat waktu.

Saat ini penyelenggara haji dari Indonesia diharuskan memilih zona layanan dan melakukan pembayaran lebih awal sebelum bisa menginput program layanan di sistem Arab Saudi.

Baca Juga:Jemaah Tak Dapat Tenda, Ketua PPIH Minta Maaf Ungkap Penyebab Calon Haji Terlantar di Arafah

Proses ini harus dilakukan secara cepat dan akurat karena berkaitan langsung dengan pengeluaran visa haji yang kini sudah ditentukan waktunya.

"Arab Saudi sudah menentukan visa haji harus keluar pada satu waktu yang seragam. Jadi kami harus siapkan semuanya lebih awal, bahkan untuk haji 2026, persiapan sudah harus dimulai sejak September atau Oktober tahun ini," ujar dia.

Belum Realistis

Meski menarik perhatian publik, ide pemberangkatan lewat laut dinilai masih belum realistis untuk diterapkan dalam waktu dekat.

Selain tantangan logistik, kapasitas, dan waktu tempuh yang jauh lebih lama, sistem yang dibangun Pemerintah Arab Saudi kini seluruhnya berbasis digital dan terintegrasi dengan jalur udara.

"Kalau haji laut dipaksakan sekarang, bisa jadi malah tidak sinkron dengan sistem Arab Saudi yang makin maju dan ketat. Fokus kami saat ini adalah bagaimana layanan tetap prima dan jemaah bisa berangkat tanpa hambatan," ungkapnya.

Sementara Kepala Bidang Penyelengara Haji dan Umroh Kanwil Kemenang DIY, Jauhar Mustofa mengugkapkan, alih-alih mengalihkan fokus pada moda transportasi, Kemenag lebih memilih memperkuat pendekatan layanan.

Salah satunya adalah dengan mendorong penguatan sistem embarkasi haji di daerah, termasuk upaya menjadikan Embarkasi Yogyakarta sebagai model layanan yang unggul dari sisi kenyamanan dan efisiensi waktu tunggu.

"Kemenag juga tengah menggodok langkah-langkah untuk memangkas masa tinggal jemaah di Arab Saudi. Sebab hal itu selama ini menjadi penyumbang terbesar dalam komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji," paparnya.

Masa tinggal yang lebih pendek diharapkan dapat menekan pengeluaran tanpa mengorbankan kualitas pelayanan.

Langkah lainnya adalah verifikasi dini calon jemaah haji, yang sudah mulai dilaksanakan sejak pertengahan Juli 2025 ini.

"Hari ini, kami mulai mengidentifikasi dan memverifikasi calon jemaah haji 2026. Ini adalah upaya mempercepat alur dan memastikan tidak ada yang tertinggal dalam proses," jelasnya.

Ketua FORPUHY, R Tanto mengatakan, meskipun berbagai wacana berkembang, termasuk soal kuota, sistem zonasi, dan moda transportasi, prioritas utama adalah layanan.

Termasuk bila penggantian pengelola haji dari Kemenag ke BPH direalisasikan.

"Siapa pun regulatornya nanti, apakah tetap Kemenag atau berpindah ke BPH yang terpenting adalah ada kejelasan mekanisme dan ruang kerja bagi pelaksana. Dan yang utama, jemaah tetap mendapat layanan terbaik," ungkap dia.

Antrean makin Panjang

Tanto menambahkan, saat ini antrean ibadah haji reguler yang semakin panjang hingga menyentuh 34 tahun di DIY.

Permasalahan ini membuat sebagian calon jemaah untuk beralih ke jalur haji khusus.

"Kalau sekarang mendaftar haji khusus, antreannya sudah tahun 2034. Artinya, butuh waktu sembilan tahun dari sekarang," ungkapnya.

Data terbaru menunjukkan seluruh kuota haji khusus nasional sebesar 17.680 jemaah atau 8 persen dari total kuota nasional 221.000 jemaah.

Tren ini menunjukkan adanya lonjakan signifikan dalam permintaan terhadap layanan haji khusus, terutama di tengah antrean haji reguler yang kini mencapai 5 juta orang secara nasional.

Di DIY sendiri, jumlah jemaah haji khusus yang diberangkatkan pada tahun 2025 hampir menyentuh angka 1.000 orang.

Ini merupakan angka yang signifikan mengingat jumlah Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) di wilayah tersebut masih terbatas, yakni hanya sekitar 14 perusahaan.

Fenomena peralihan ke haji khusus bukan hanya karena masa tunggu yang lebih pendek, tetapi juga karena pertimbangan kondisi kesehatan dan kemampuan finansial jemaah.

"Banyak jemaah yang berpikir lebih baik berangkat lebih cepat ketika kesehatan masih memungkinkan, meskipun biayanya lebih tinggi. Karena jika menunggu 30 tahun lagi, biaya kesehatan juga akan meningkat dan belum tentu kondisi fisik masih memungkinkan," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak