SuaraJogja.id - Ketegangan sosial kembali mencuat di kawasan pesisir Pantai Sanglen, Kalurahan Kemadang, Kapanewon Tanjungsari, Gunungkidul.
Mereka menolak upaya pengosongan lahan oleh pemerintah daerah untuk pembangunan kawasan wisata eksklusif oleh PT Biru Bianti Indonesia yang telah mengantongi izin dari Keraton Yogyakarta.
Sekitar 50 warga diketahui telah lama tinggal dan berdagang di area tersebut.
Beberapa dari mereka bahkan menggandeng lembaga bantuan hukum (LBH) untuk memperjuangkan keberadaan mereka di lahan yang kini diklaim sebagai milik Keraton atau Sultan Ground.
Baca Juga:Beban Ekonomi Meringan, Gunungkidul Siapkan 5 Ton Sembako Murah di Pasar Murah Paliyan
Mereka menilai kebijakan pengosongan yang akan dilakukan secara sepihak tidak adil.
Apalagi tanpa tawaran ganti rugi atau relokasi yang konkret.
Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan HB X pun buka suara terkait polemik tersebut.
Ditemui di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Selasa (29/7/2025), Sultan meminta agar pendekatan yang digunakan tidak bersifat represif.
Sultan meminta dilakukan dialog terbuka dan kejelasan status hukum lahan sebagai jalan keluar utama.
Baca Juga:E-Katalog Diduga Jadi Modus Korupsi Pengadaan TIK di Gunungkidul, Polda DIY Bertindak
"Ya enggak apa-apa, asal mau dialog aja. Didialogkan saja, untuk dipahami status tanahnya bagaimana. Ada penggantinya enggak? Jangan ditelantarkan," ungkapnya.
Sultan menyebut, pembangunan wisata di Pantai Sanglen bukanlah masalah selama dilandasi komunikasi yang baik dan tidak menelantarkan warga.
Pemberian kompensasi atau pesangon perlu dipertimbangkan jika memang warga benar-benar terdampak.
Sultan pun membandingkan kasus ini dengan pengalaman relokasi pedagang kaki lima (PKL) yang semula menolak pindah. Mereka akhirnya menerima setelah proses komunikasi dijalankan dengan sabar.
Karenanya Sultan memberi opsi adanya pesangon bagi warga untuk direlokasi. Namun kebijakan tersebut bisa diterapkan bagi yang berhak.
"Apakah kasih pesangon? Kasih pesangon itu sudah dianggap memadai enggak? Itu kan harus dibicarakan. Kalau memang dia tidak punya hak atas tanah itu, ya bagaimana. Masalahnya di mana kok menolak? Kalau memang bukan haknya, ya bisa enggak dari pesangon itu dia punya rumah di tempat lain," tandasnya.