SuaraJogja.id - Darah Pangeran Diponegoro mengalir dalam nadi Rahadi Saptata Abra.
Namun, kesadaran itu tidak datang dari buku sejarah atau dongeng pengantar tidur, melainkan dari sebuah pengakuan langsung sang ayah di suatu sore yang mengubah cara ia memandang dirinya selamanya.
Jauh sebelum itu, selembar lukisan tua Pangeran Diponegoro sudah akrab dengannya, tergantung di dinding kelasnya saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar.
Cerita heroik tentang sosok pangeran yang menunggang kuda putih dan memimpin perlawanan terbesar di tanah Jawa itu sudah ia kenal.
Baca Juga:Jogja Marketing Festival 2025: Wadah Sinergi Budaya, Teknologi, Inovasi Penguatan Pemasaran Daerah
Namun, tatapan mata di lukisan itu baru benar-benar bermakna setelah ayahnya mengumpulkan anak-anaknya.
Sang ayah bercerita tentang darah yang mereka warisi, darah yang mengalir dari Pangeran Diponegoro melalui jalur putri Raden Ajeng Impun yang menikah dengan panglima perang Basah Mertonegoro.
"Saya diberi tahu mungkin sekitar kelas 2 atau 3 SD. Waktu itu cuma kaget saja," kata Rahadi saat ditemui Suara.com, Jumat (15/8/2025).
"Nah, tadi kalau ditanya silsilahnya bagaimana. Saya itu keturunan ke-6 dari Pangeran Diponegoro," sambungnya.
Namun, pesan ayahnya begitu jelas. Identitas itu bukan untuk disombongkan, melainkan sebuah wasiat untuk dijaga, laiknya api kecil yang harus terus menyala dalam diam.
Baca Juga:Potret Siswa Al Azhar Jogja Viral, Netizen: 'Sekolah Sambil Healing, Biayanya DP Rumah KPR'
Perjumpaan yang Mengubah Arah
![Berbagai kegiatan Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro. [Dok: Patra Padi]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/16/32857-keturunan-diponegoro.jpg)
Sempat berjarak karena kesibukan kuliah dan membangun usaha, Rahadi nyaris terlepas dari lingkaran besar keluarganya.
Rutinitas modern sempat membuatnya lupa akan latar belakang sejarah yang ia sandang. Hingga sebuah panggilan telepon dari saudaranya pada 2014 memanggilnya kembali ke pusaran sejarah.
Ia diajak menghadiri momen bersejarah: penyerahan tongkat pusaka Kiai Cokro dari sebuah keluarga Belanda kepada pemerintah Indonesia di Galeri Nasional. Momen itu menjadi titik baliknya.
"Itu awal saya kecemplung lagi ke trah [Pangeran Diponegoro]," ucapnya.
Dalam acara sakral itu, Rahadi dipertemukan dengan keturunan Pangeran Diponegoro dari berbagai penjuru nusantara, mulai dari Makassar, Ambon, Jakarta, hingga Banyumas.
Mereka berbagi kisah, saling mengisi kepingan ingatan, dan dari sanalah lahir Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi).
Kini, Patra Padi menjadi wadah untuk menjaga silaturahmi antar keturunan sekaligus menyebarkan nilai-nilai perjuangan sang pahlawan.
Berbagai acara pun rutin digelar, mulai dari haul di Tegalrejo, ziarah ke makam leluhur di Imogiri, hingga peringatan milad yang dirayakan dengan pertunjukan wayang kulit bertema Diponegoro, yang menampilkan 59 tokoh dan sudah dipentaskan sebanyak 17 kali.
Perjuangan yang Harus Tetap Membara
Di mata Rahadi, Pangeran Diponegoro adalah teladan paripurna yang sulit dicari tandingannya.
Ia mencontohkan keteguhan sang pangeran dalam melawan segala bentuk kebijakan yang menekan kesejahteraan rakyat, yang menjadi pemicu utama Perang Jawa.
Ia menguraikan tiga pemicu utama perang dahsyat itu: intervensi Belanda dalam politik internal keraton, masuknya budaya Barat yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam dan budaya luhur Jawa, serta penerapan pajak yang mencekik leher rakyat.
Perlawanan Diponegoro inilah yang sering disebut sebagai 'penendang bola salju' menuju kemerdekaan Indonesia.
Kerugian masif yang diderita Belanda memantik gelombang kesadaran rakyat untuk melawan, hingga melahirkan berbagai gerakan perlawanan di seluruh nusantara.
Oleh karena itu, banyak nilai perjuangan Diponegoro yang masih sangat relevan untuk diterapkan di zaman sekarang.
"Beliau itu antara pikiran, ucapan, dan tindakan sama. Tidak ada bedanya sama sekali. Itu yang sekarang sudah langka," ujar Rahadi.
Menurutnya, meski perjuangan Diponegoro saat itu berbasis pada penegakan nilai-nilai Islam di Kasultanan Ngayogyakarta, esensi perjuangannya dapat diadaptasi dalam konteks kebangsaan saat ini.
"Kalau sekarang kita Bhinneka Tunggal Ika ya. Dulu itu kan Islam. Ya beliau mau menegakkan ajaran agama Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat," tandasnya.
"Nah, kalau sekarang ya kita harus sesuai dengan tujuan negara kita apa? Ya Garuda Pancasila. Pangeran Diponegoro itu kalau dibawa kesini [sekarang] ya harus Sila 1, 2, 3, 4, 5 ya harus benar-benar diaplikasikan. Nggak ada tebang pilih, adil, makmur. Ujungnya untuk kemakmuran, tidak untuk kelompok segolongan," tambahnya.
Jejak Darah Perang Jawa dalam Napas Kemerdekaan
Bagi Rahadi, peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini tak bisa dilepaskan dari kilas balik 200 tahun Perang Jawa (1825-1830).
Kemerdekaan bukan sekadar angka di kalender, melainkan buah dari pengorbanan tak ternilai.
"Kalau menurut saya ini tidak hanya refleksi 80 tahun, sekarang juga refleksi 200 tahun Perang Jawa," ujarnya.
Ia menekankan tentang jiwa, raga, waktu, dan keluarga yang telah dikorbankan para pahlawan bangsa, termasuk leluhurnya, demi satu kata: merdeka.
Menurutnya, para pejuang saat itu tidak memikirkan apa yang akan mereka dapatkan setelah merdeka; fokus mereka hanya merebut kebebasan, meski harus ditebus dengan darah.
"Kita ini yang tinggal mengisi aja. Ini harus selalu merefleksi itu semua, supaya kita akan lebih paham bahwa ini dulu diperjuangkan dengan darah. Tidak hanya pemberian, ini benar-benar dengan darah," tegasnya.
Ia pun mengajak generasi muda untuk memahami makna di balik kemerdekaan yang kini dinikmati.
"Jadi di sini saya sebagai keturunan [Pangeran Diponegoro], tolong kita semua memahami pengorbanan para pahlawan. Apalagi Bung Karno selalu menyertakan jas merah [Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah] dan harus menghormati semua pahlawan," cetusnya.
Menanam Sejarah di Hati Generasi Muda
Rahadi sadar betul bahwa sejarah sering kali terasa hambar di telinga generasi masa kini, terutama di era digital yang serba cepat.
Namun, ia optimis nilai-nilai perjuangan dapat ditanamkan dengan cara yang lebih relevan.
"Nilainya tetap sama, tapi cara menyampaikannya harus mengikuti zaman. Gen Z dan milenial ini kan udah agak beda nih ya. Kita harus pendekatannya beda mungkin," terangnya.
Ia juga mengungkap kekhawatirannya terhadap arus deras informasi di media sosial yang sering kali mengaburkan fakta sejarah.
"Kadang-kadang banyak juga dengan adanya media online itu menjadi ceritanya ngalor ngidul, sumbernya nggak jelas tidak berbasis dari data primer, asumsi dan sebagainya," tegasnya.
Bagi Rahadi, munculnya berbagai versi sejarah adalah hal yang wajar, asalkan semuanya tetap berpijak pada sumber primer yang dapat dipertanggungjawabkan.
"Nggak apa-apa versi ini seperti ini, versi ini tapi jangan sampai terus menjadi versi yang tidak jelas tanpa sumber," pungkasnya.