Tanah Rakyat Dijual? GNP Yogyakarta Geruduk DPRD DIY, Ungkap Bahaya Prolegnas UUPA

Massa GNP demo di Yogyakarta peringati Hari Tani Nasional, tuntut penghapusan Sultan Ground & UU Keistimewaan, serta menolak revisi UUPA yang dianggap ancaman.

Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 24 September 2025 | 20:10 WIB
Tanah Rakyat Dijual? GNP Yogyakarta Geruduk DPRD DIY, Ungkap Bahaya Prolegnas UUPA
Ratusan massa berunjukrasa dalam rangka Hari Tani Nasional di Malioboro, Rabu (24/9/2025). [Kontributor/Putu]
Baca 10 detik
  • Massa GNP menggeruduk kantor DPRD DIY
  • Reforma agraria yang dijalankan pemerintah pasca-Soeharto hingga era Jokowi dinilai jauh dari semangat UUPA
  • Sultan Ground dan Pakualaman Ground dituding berlawanan dengan semangat UUPA

SuaraJogja.id - Ratusan massa yang mengatasnamakan Gerakan Nasional Pendidikan (GNP) menggelar aksi unjukrasa di Yogyakarta dalam rangka Hari Tani Nasional, Rabu (24/9/2025).

Massa yang awalnya berkumpul di eks TKP ABA longmarch menuju DPRD DIY.

Di depan gedung wakil rakyat tersebut, sejumlah orang menyampaikan orasinya terkait berbagai isu konflik agraria dan ketahanan pangan.

Sejumlah aparat menjaga aksi massa tersebut.

Baca Juga:Sukses di Pakualaman, Bisakah MAS JOS Jadi Solusi Sampah Kota Yogyakarta?

Usai berorasi, massa kembali melanjutkan longmarch menuju Titik Nol Km.

Massa kembali menyampaikan orasi sembari membentangkan spanduk. Meski sempat membuat kemacetan, unjuk rasa kali ini berlangsung kondusif.

Humas GNP, Vara menyatakan momentum ini harus menjadi pengingat bagi negara agar tidak mengabaikan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.

Sebab, pasca naiknya pemerintahan Prabowo–Gibran, pemerintah justru memasukkan UUPA ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dengan nomor urut 61.

"Ini sangat berbahaya bagi masyarakat dalam mempertahankan tanahnya. UUPA adalah benteng terakhir rakyat Indonesia menghadapi perampasan lahan yang kian masif," tandasnya.

Baca Juga:Titah Raja Turun: 400 Makam di Tanah Sultan Ground Dibongkar Demi Tol Jogja-Solo

Menurut Vara, UUPA yang lahir pada 24 September 1960 di era Presiden Soekarno tidak sekadar regulasi, melainkan fondasi reforma agraria.

Salah satu poin utamanya adalah redistribusi lahan yang saat itu dikuasai para tuan tanah besar untuk didistribusikan kepada petani demi mendukung industrialisasi nasional.

UUPA juga mengatur batas minimal dan maksimal penguasaan lahan, yakni 5–15 hektare di daerah padat penduduk, dan 5–20 hektare di daerah tidak padat.

Namun, program reforma agraria yang dijalankan pemerintah pasca-Soeharto hingga era Jokowi dinilai jauh dari semangat UUPA.

"Yang disebut reforma agraria hanya sebatas sertifikasi tanah. Sertifikat dibagi-bagi, tapi tuan tanah tetap berkuasa," katanya.

Di Yogyakarta, lanjutnya masalah agraria juga dinilai kian rumit dengan hadirnya Undang-Undang Keistimewaan Nomor 13 Tahun 2012.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak