- Menteri Agama, Nasaruddin Umar menyebut media massa terlalu membesarkan kasus kekerasan seksual di pesantren
- Ironisnya, kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam 3 tahun terakhir terjadi cukup banyak
- Harus ada peran pemerintah secara tegas untuk mengawasi dan menyediakan lingkungan pendidikan yang aman
SuaraJogja.id - Kasus kekerasan seksual yang melibatkan santri di lingkungan pondok pesantren (ponpes) telah menjadi sorotan serius di Indonesia.
Ironisnya, di tengah maraknya pemberitaan, muncul pandangan bahwa kasus-kasus ini "dibesar-besarkan" oleh media massa, seperti yang disampaikan oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar.
Ia berpendapat bahwa pemberitaan berlebihan dapat berdampak negatif pada reputasi pesantren dan membuat masyarakat enggan menyekolahkan anaknya di sana.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kekerasan seksual di ponpes adalah fenomena gunung es yang jauh dari kesan dibesar-besarkan.
Rentetan Kasus Kekerasan Seksual Tiga Tahun Terakhir
![Tampang ustadz yang sodomi belasan muridnya dengan modus ajari salat malam. [Ist]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/05/05/20977-tampang-ustadz-yang-sodomi-belasan-muridnya-dengan-modus-ajari-salat-malam-ist.jpg)
Selama tiga tahun terakhir, berbagai kasus kekerasan seksual di ponpes telah terungkap di seluruh Indonesia, menunjukkan bahwa masalah ini sistemik dan meluas.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, sepanjang Januari hingga Agustus 2024 saja, terdapat 101 anak menjadi korban kekerasan seksual di sekolah, dengan lima kasus terjadi di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama.
Yang mengejutkan, 69 persen dari korban tersebut adalah anak laki-laki.
Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) tahun 2024 menunjukkan 20 persen dari 573 kasus kekerasan di lembaga pendidikan terjadi di lingkungan pesantren.
Baca Juga:Balik Arah, Santri Korban Penganiayaan di Ponpes Ora Aji Dilaporkan Balik atas Dugaan Pencurian
Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) bahkan mencatat peningkatan kasus kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS) di pesantren menempati urutan kedua setelah perguruan tinggi.
Beberapa kasus yang mencuat dalam kurun waktu 2021-2025 antara lain:
2021: Kasus HW di Bandung yang mencabuli 14 santri sejak 2016, dengan beberapa korban sampai melahirkan.
Di Tasikmalaya, seorang guru dan pengasuh diduga mencabuli sembilan santriwati.
Di Jombang, pimpinan ponpes berinisial S divonis 15 tahun penjara atas pencabulan 15 santriwati.
2022: Kasus Moch Subchi Azal Tsani (MSA) di Jombang, putra pengasuh ponpes, yang proses penangkapannya berbelit-belit.
2023: Sebanyak 41 santri menjadi korban di sebuah ponpes di Lombok Timur, NTB pada Mei 2023.
2024: Di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, seorang pengasuh asrama mencabuli 40 santri.
Di Bekasi, seorang guru ngaji dan pemilik ponpes menjadi tersangka pelecehan tiga santriwati.
Kasus di Maros (Desember 2024) melibatkan 20 korban, dan di Jambi (Oktober 2024) dengan 12 korban.
2025: Beberapa kasus terungkap pada Januari 2025 di Jakarta Timur (5 korban), Nganjuk (2 korban), Martapura (20 korban), dan Lombok Tengah (3 korban).
Pada Juni 2025, kasus di Sumenep melibatkan 13 santri yang menjadi korban kekerasan seksual sejak 2016 hingga 2024, dan di Ciamis, seorang guru menyetubuhi santrinya berkali-kali sejak November 2024 hingga Februari 2025, dengan lima santri lain juga menjadi korban.
Perjuangan Korban Mencari Keadilan di Tengah Minimnya Pengakuan

Pernyataan Menteri Agama bahwa kasus kekerasan seksual di pesantren dibesar-besarkan oleh media seringkali bertolak belakang dengan kenyataan bahwa korban justru kesulitan mendapatkan keadilan.
Proses hukum yang panjang dan berbelit, bahkan membutuhkan penangkapan paksa, seperti pada kasus MSA di Jombang, menunjukkan lambatnya keadilan bagi korban.
Seringkali, kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama mengkriminalisasi korban karena anggapan tempat tersebut suci, membuat laporan sulit dilakukan.
Para korban, terutama yang masih di bawah umur, seringkali tidak segera melaporkan karena pelaku adalah sosok yang memiliki kuasa (guru, pimpinan ponpes) dan posisi terhormat di masyarakat.
Rasa takut akan ancaman, hambatan pendidikan, serta tekanan sosial membuat korban memilih bungkam.
Potensi Kekerasan Seksual di Ponpes: Relasi Kuasa dan Ketiadaan Regulasi
![Ilustrasi pondok pesantren. [ChatGPT]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/09/30/78017-ilustrasi-pondok-pesantren.jpg)
Potensi terjadinya kekerasan seksual di lingkungan ponpes cukup tinggi dan mudah terjadi karena beberapa faktor.
Pertama, relasi kuasa yang timpang antara pelaku (seringkali pengasuh, guru, atau pimpinan ponpes) dan korban (santri) menjadi pemicu utama.
Budaya "tabarruk" atau mencari berkah dari kyai atau guru juga dapat disalahgunakan, di mana santri cenderung mematuhi apa pun yang diperintahkan, bahkan jika bertentangan dengan ajaran agama.
Kedua, lemahnya pengawasan menjadi celah bagi pelaku.
Kementerian Agama sendiri mengakui "kecolongan" dalam kasus Bandung dan berjanji akan memperbaiki prosedur izin operasional serta memperketat verifikasi dan validasi lembaga pendidikan agama.
Ombudsman NTB juga mendesak pembentukan unit pengawas khusus di setiap lembaga pendidikan, termasuk ponpes, untuk menangani kekerasan dan pelecehan seksual.
Ketiga, belum optimalnya implementasi kebijakan perlindungan, khususnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), di lingkungan ponpes.
Meskipun UU TPKS telah disahkan, penerapannya di satuan pendidikan berbasis keagamaan masih menghadapi tantangan, termasuk belum lengkapnya instrumen kebijakan turunan yang mengatur secara teknis perlindungan anak dari kekerasan seksual.
DPR RI mencatat bahwa sebagian besar pelaku masih dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), dan belum ada penyidik yang menggunakan pasal dalam UU TPKS untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak.K
Ketiadaan kebijakan yang jelas dan transparan mengenai pelindungan anak, serta minimnya sosialisasi aturan dan pelatihan bagi pengurus, pengajar, dan santri, turut memperparah kondisi.
Lingkungan ponpes yang tertutup juga seringkali menjadi faktor risiko.
Kasus-kasus ini menunjukkan perlunya keterbukaan pesantren dalam menangani kekerasa seksual untuk membangun kepercayaan, memberikan keadilan bagi korban, dan mencegah kekerasan serupa di masa depan.
Tanpa pengawasan yang ketat dan implementasi kebijakan yang komprehensif, pondok pesantren, yang seharusnya menjadi tempat aman untuk menimba ilmu, akan terus dibayangi oleh ancaman kekerasan seksual yang membungkam suara para santri.