Dibalik Keindahan Batik Giriloyo: Ancaman Bahan Kimia dan Solusi Para Perempuan Pembatik

Pembatik tulis Giriloyo bangkit mandiri pasca gempa 2006. Koperasi lahir, kesejahteraan meningkat, meski tantangan kesehatan & limbah membayangi. Inovasi K3 diterapkan.

Muhammad Ilham Baktora
Minggu, 02 November 2025 | 19:00 WIB
Dibalik Keindahan Batik Giriloyo: Ancaman Bahan Kimia dan Solusi Para Perempuan Pembatik
Para mahasiswa berlatih membatik bersama pembatik tradisional Giriloyo, Minggu (2/11/2025). [Kontributor Suarajogja/Putu]
Baca 10 detik
  • Perajin Batik Tulis Giriloyo Bantul terus mempertahankan idealisnya
  • Dilematis sebagai pembatik di era saat ini diuji penuh
  • Pembatik dan industri terus berkolaborasi untuk bisa diterima masyarakat di setiap masa

"Sekarang kami juga sudah mulai beralih dari kompor minyak tanah ke kompor listrik, supaya lebih aman dan tidak berasap," ungkapnya.

Vena Jaladra, pelaku industri kecil menengah (IKM) yang kini aktif memasarkan batik Giriloyo secara daring menambahkan, kolaborasi dengan kampus dan pemerintah sangat membantu para pembatik memahami risiko kerja dan menerapkan inovasi sederhana.

Di antaranya penggunaan kursi ergonomis untuk mengurangi nyeri punggung dan senam batik untuk mencegah carpal syndrome.

"Pembatik sekarang sudah lebih sadar pentingnya bergerak. Tidak lagi duduk delapan jam penuh, tapi tiap satu jam berdiri dan melatih otot," jelasnya.

Baca Juga:Dari Kirab Kampung Hingga Pernikahan Anak Presiden: Kisah Sukses Pemuda Jogja Lestarikan Budaya Lewat Prajurit Rakyat

Kisah para pembatik Giriloyo menarik perhatian kalangan akademisi dan praktisi kesehatan.

Sebagai bagian dari International Summer Course on Interprofessional Healthcare yang digelar FKKMK UGM, para mahasiswa internasional dari Belanda, Thailand, Pakistan, Myanmar, dan berbagai universitas Indonesia berkunjung ke Giriloyo untuk belajar langsung tentang penerapan prinsip keselamatan dan kesehatan kerja di industri kreatif tradisional.

Ketua Tim Internasionalisasi FKKMK UGM, Dwi Aris Agung Nugrahaningsih, mengungkapkan kegiatan itu bertujuan menumbuhkan kesadaran global tentang pentingnya tempat kerja yang sehat, tangguh, dan berkelanjutan.

"Kami ingin mahasiswa memahami bahwa kesehatan tidak hanya dibangun di rumah sakit, tetapi juga di tempat kerja, komunitas, dan lingkungan sekitar kita," paparnya.

Dwi Aris menyebut, para mahasiswa tak hanya mengamati secara langsung tahapan pembuatan batik tulis namun juga mempelajari praktik keselamatan sederhana namun vital.

Baca Juga:Satu Bulan Rampung? Progres Pemindahan Ratusan Makam Terdampak Tol Jogja-Solo Dipercepat

"Di antaranya penggunaan alat pelindung diri (APD) saat bekerja dengan lilin panas dan pewarna kimia, serta pentingnya ventilasi ruang kerja yang baik," paparnya.

Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FKKMK UGM, Ahmad Hamim Sadewa mengungkapkan dalam konteks industrialisasi global, isu kesehatan kerja memang menjadi perhatian utama bagi pekerja informal.

Berdasarkan laporan International Labour Organization (ILO), lebih dari 2,9 juta pekerja di dunia meninggal setiap tahun akibat penyakit dan kecelakaan kerja, sementara 374 juta kasus cedera dan penyakit akibat kerja terjadi setiap tahunnya.

Faktor risiko seperti paparan bahan berbahaya, posisi kerja yang tidak ergonomis, serta stres kerja kronis menjadi penyebab utama meningkatnya angka kesakitan dan kematian pekerja.

Di Indonesia, data Kementerian Ketenagakerjaan RI (2022) mencatat 265.334 kasus kecelakaan kerja yang sebagian besar dapat dicegah dengan penerapan protokol keselamatan yang lebih ketat.

"Angka kematian akibat kecelakaan kerja kini melampaui korban kecelakaan lalu lintas, perang, dan HIV/AIDS," imbuhnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak