- Keluarga Trah Sri Sultan Hamengku Buwono II meminta pengembalian barang rampasan oleh penjajah Inggris
- Thomas Stamford Raffles yang dituding sengaja membuat perang di Jogja hanya untuk kepentingan pribadi
- Kejahatan ini membuka bahwa peristiwa Geger Sepehi sudah merugikan warga Jogja
SuaraJogja.id - Peristiwa Geger Sepehi tahun 1812 saat pasukan East India Company (EIC) yang dipimpin Thomas Stamford Raffles menyerbu Keraton Yogyakarta kini kembali disorot dari sisi hukum.
Sebuah riset akademik terbaru menunjukkan bahwa penjarahan besar-besaran yang terjadi kala itu sebenarnya merupakan tindakan ilegal bahkan menurut hukum Inggris sendiri.
Hal itu diungkap oleh Ketua Yayasan Vasatii Socaning Lokika sekaligus Trah Sultan Hamengku Buwono (HB) II, Fajar Bagoes Poetranto.
Adapun kesimpulan itu muncul dalam jurnal akademik berjudul 'Plunder and Prize in 1812 Java: The Legality and Consequences for Research and Restitution of the Raffles Collections' karya Dr. Gareth Knapman dan Dr. Sadiah Boonstra.
Baca Juga:Kejahatan Kemanusiaan Geger Sepehi Terungkap, Inggris Diminta Kembalikan Aset Sri Sultan HB II
"Hukum Prize dirancang untuk mengatur rampasan perang resmi, seperti uang publik atau aset militer. Namun, riset ini menunjukkan bahwa Raffles dan perwira EIC melanggar aturan mereka sendiri," kata Fajar dikutip, Jumat (7/11/2025).
Disampaikan Fajar, dalam hukum Inggris kala itu, Hukum Prize dengan tegas melarang penjarahan properti pribadi oleh tentara dan menganggapnya sebagai kejahatan berat.
Namun, hasil riset Knapman dan Boonstra menemukan bahwa ribuan benda budaya yang diambil dari Keraton Yogyakarta, termasuk keris pusaka, manuskrip, perhiasan, dan pakaian, sebenarnya merupakan milik pribadi Sultan HB II dan keluarganya.
Lebih jauh, peneliti menyebut perang di Yogyakarta diduga sengaja direkayasa untuk kepentingan finansial pribadi para perwira tinggi EIC, termasuk Raffles sendiri.
"Di situ [jurnal] dituliskan bahwa mayoritas karya seni dan objek warisan budaya yang berakhir di institusi Inggris dianggap berasal dari penjarahan yang melanggar hukum karena tidak termasuk dalam 'properti publik'," ungkapnya.
Baca Juga:Geger Sepehi: Keluarga Sultan HB II Tuntut Inggris Kembalikan Aset Keraton Rp8,3 Triliun
Adapun, kata Fajar, kerugian yang dialami Keraton Yogyakarta tidak hanya berupa benda pusaka. Melainkan ada pula kekayaan moneter dalam jumlah besar.
"Aset yang dirampas berupa moneter [perak] diperkirakan lebih dari 542 juta dolar. Kemudian artefak budaya, ribuan keris, manuskrip, perhiasan, dan objek seni [belum termasuk valuasi penuh]," tandasnya.
Riset ini menyimpulkan bahwa banyak koleksi Jawa yang kini disimpan di institusi besar seperti British Museum dan British Library sebenarnya berasal dari 'akuisisi terlarang' atau illicit acquisition.
Dalam konteks hukum modern, Fajar bilang lembaga-lembaga tersebut bisa dianggap sebagai 'penerima barang curian' dari para perwira Inggris yang kala itu bertindak di luar perintah resmi pemerintah mereka.
Temuan tersebut menjadi momentum penting bagi upaya Trah Sultan HB II untuk menuntut pengembalian aset Keraton Yogyakarta.
"Ini bukan lagi soal 'hadiah' atau 'rampasan perang' yang sah. Riset ini membuktikan secara gamblang bahwa pada saat Sultan Hamengkubuwono II memimpin Keraton Yogyakarta adalah korban pencurian yang diatur," tegasnya.