Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Rabu, 29 April 2020 | 20:15 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual (Shutterstock)

SuaraJogja.id - Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta digoyang isu dugaan pelecehan yang dilakukan oleh seorang alumnusnya yang berinisial IM. Sekelompok aktivis yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak menulis sebuah rilis yang menguak tindakan tersebut.

Rilis tersebut juga dibubuhi sejumlah nama dan organisasi atau komunitas yang mengaku mendukung sikap aliansi. Rektor UII Prof Fathul Wahid mengaku telah membaca pesan berantai berisi dugaan tindak kekerasan seksual tersebut pada Selasa (28/4/2020).

Fathul menegaskan akan mengusut hal itu sekaligus menyatakan, UII tidak akan pernah memberikan ruang untuk praktik kekerasan atau pelecehan seksual. UII akan membentuk tim untuk menelusuri kasus ini.

Jika benar IM pelaku kekerasan seksual, maka, kata dia, tidak ada ruang baginya di UII, termasuk mengisi seminar. Fathul juga mendorong korban untuk melapor ke aparat berwajib karena itu salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mengusut kasusnya saat ini.

Baca Juga: Warga Situbondo Geger, Benda Jatuh dari Langit Timpa Rumah, Ternyata...

"Posisi kami tidak bisa memproses IM karena yang bersangkutan sudah lulus 4 tahun yang lalu, sehingga kami mendorong korban untuk mengambil langkah hukum karena itu satu-satunya yang bisa dilakukan untuk saat ini," katanya, kala dihubungi SuaraJogja.id, Rabu (29/4/2020).

Menurut Fathul, langkah antisipatif adalah yang mungkin dilakukan karena tidak ada laporan resmi masuk ke universitas.

"Yang pertama, kami melakukan rapat pimpinan, kami juga menyepakati beberapa hal, salah satunya kami akan membantu korban, jika itu benar adanya," ujarnya.

Ia menambahkan, selama ia menjabat rektor, belum ada laporan resmi terkait kasus ini.

"Betul-betul kemarin saya tidak tahu, sebelumya saya lacak tidak pernah ada laporan resmi ke UII, sehingga selama saya menjabat jadi rektor tidak pernah ada laporan itu," ujar dia.

Baca Juga: Dokter Khawatir Vaksinasi Tertunda saat Pandemi Corona Berujung Wabah Lain

Pihaknya juga mengatakan sudah menghubungi LKBH FH UII untuk meminta bantuan pendampingan bagi korban, jika akan melaporkan ke aparat berwenang. Selain itu, juga ada pendampingan psikologis untuk korban.

"Korban sudah ada yang mendapatkan pendampingan psikologis dari psikolog UII pada 2018 atau sekitar dua tahun lalu, tapi kode etik psikolog tidak bisa membuka itu. Info saya terima hari ini, ketika kami mencoba melacak," kata Fathul.

Di kesempatan yang sama, Fathul menyebut, bila IM terbukti bersalah, maka UII tidak akan kontak lagi dengan yang bersangkutan.

"Cuma ini kan baru sepihak dari aliansi. Dalam prespektif hukum harus ada proses pembuktian. Itu juga harus kita junjung juga," kata dia.

Berikut selengkapnya yang tertulis dalam rilis dari Aliansi Rakyat Bergerak:

"Belakangan ini kami mendapatkan informasi dari dua penyintas korban kekerasan seksual di lingkungan kampus Universitas Islam Indonesia. Pelaku bernama Ibrahim Malik, seorang alumnus UII jurusan Arsitektur Angkatan 2012 dan lulus tahun 2016. Terlepas dari dua kasus yang sudah dilaporkan pada kami, ada kasus yang sudah dilaporkan kepada pihak kampus 2 tahun lalu, namun respon yang diberikan oleh birokrat universitas terkait kasus ini di luar harapan, dengan mengatakan bahwa korban mengeluarkan reaksi emosional yang berlebihan. Ini menunjukkan kampus tidak memiliki keberpihakan pada penyintas.

Alih-alih mendapatkan teguran dan hukuman, Ibrahim Malik justru terus menerus mendapatkan ruang dalam acara-acara seminar yang diadakan oleh UII. Tak hanya itu, pelaku juga mendapatkan panggung untuk menjadi narasumber dalam salah satu program branding kampus yang berjudul 'Program Inspirasi UII' yang dimuat di kanal Youtube. Realitas ini memantapkan analisa kami bahwa ada upaya kampus untuk melindungi pelaku kekerasan seksual di lingkungan UII. Ditambah glorifikasi yang besar terhadap Ibrahim Malik mendukung pelaku untuk melakukan kekerasan seksual kembali.

Dalam kasus kekerasan seksual, keselamatan dan perlindugan penyintas merupakan prioritas utama dalam situasi apapun. Hal ini didasari pada: dalam masyarakat yang seksis posisi perempuan tidak setara. Dalam kekerasan seksual para penyintas bukan saja mengalami kekerasan seksual namun di banyak kasus juga disalahkan atas kekerasan seksual yang menimpanya. Sementara para pelaku kekerasan seksual bukan saja melakukan kekerasan seksual, melainkan mereka dilindungi dan secara tidak langsung dibenarkan melakukan tindakan tersebut. Ini terbukti begitu nyata dalam kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Ibrahim Malik. Kasus-kasus sebelumnya, hanya menjadi angin lalu bagi birokrat kampus dan ia masih menjadi pengisi acara-acara yang diadakan di kampus UII.

Per Selasa 28 April 2020, dari infomasi yang kita dapatkan data jumlah korban lebih dari lima orang. Hal ini direspon kampus bahwasanya mereka tidak dapat menindak kasus-kasus yang ada dikarenakan pelaku sudah bukan mahasiswa aktif UII. Sedangkan kasus-kasus sebelumnya direspon negatif oleh kampus yang tidak memihak pada penyintas.

Atas dasar itu, Aliansi UII Bergerak menyatakan sikap:

1. Menuntut Rektor Universitas Islam Indonesia menutup semua akses Ibrahim Malik di lingkungan kampus baik offline maupun online. Termasuk tidak memberikan kesempatan Ibrahim Malik menjadi dosen Universitas Islam Indonesia di masa yang akan datang.

2. Menuntut Universitas Islam Indonesia SEGERA membentuk tim adhoc yang berpihak pada penyintas berisikan mahasiswa, dosen, dan juga bidang kemahasiswaan guna menyelidiki kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Ibrahim Malik.

3. Menuntut Universitas Islam Indonesia untuk menjamin keamanan penyintas. Termasuk mendapatkan jaminan akses pendampingan psikologi.

4. Menuntut Universitas Islam Indonesia untuk membentuk tim penyusun draft regulasi khusus penanganan kasus kekerasan seksual (terdiri dari dosen, mahasiswa, dan psikolog) yang berpihak pada penyintas di lingkungan kampus untuk SEGERA disahkan.

Tuntutan ini, tanpa mengesampingkan upaya pendekatan-pendekatan konseling kepada penyintas, kami melihat butuh upaya yang lebih besar dan luas. Perjuangan melawan kekerasan seksual tidak dapat sepenuhnya dibebankan pada penyintas.

Belajar dari kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan, perlawanan terhadap kekerasan seksual adalah perjuangan yang terjal dan berliku. Tak jarang kampus cenderung melindungi nama baiknya. Maka dari itu dibutuhkan uluran tangan solidaritas dari kita semua untuk terlibat secara aktif memperjuangkan apa yang menjadi kebutuhan mendesak hari ini. Tanpa solidaritas aktif dari kita semua, tidak akan ada lingkungan UII yang terbebas dari kekerasan seksual. Tanpa perlawanan, Ibrahim Malik akan terus diberikan ruang oleh pihak kampus.

Kita tidak perlu menunggu lebih banyak korban lagi untuk menjadikan kampus aman dan bebas dari kekerasan seksual. Terakhir, tak henti-hentinya apresiasi yang begitu besar teruntuk para penyintas yang sudah berani melawan segala bentuk kekerasan seksual. Kami bersama kalian! Keberanian penyintas adalah semangat kami untuk terus berjuang hingga keadilan bagi korban dapat direbut. Tidak berhenti disitu saja, kemenangan dalam kasus ini akan menjadi batu loncatan perjuangan melawan kekerasan seksual di kemudian hari," demikian tulisan dalam rilis tersebut, yang diterima SuaraJogja.id, Rabu (29/4/2020).

Kontributor : Uli Febriarni

Load More