Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 05 Agustus 2020 | 21:15 WIB
proses pengosongan lahan tanah kas desa Tirtonirmolo, Rabu (5/8/2020). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

Ditambahkan Ikhwan, sebelumnya lahan tersebut digunakan sebagai tempat usaha mebel. Namun sudah sejak sekitar bulan Oktober-November tahun lalu tempat itu sudah tidak beroperasi setelah dieksekusi sita.

"Sebelumnya ada 32 tenaga kerja sekarang ya mereka terpaksa harus kita PHK karena tempatnya saja sudah tidak ada," ungkapnya.

Kepala Bagian Hukum, Sekretariat Daerah Bantul, Suparman, mengatakan bahwa sengketa lahan tersebut sudah melalui proses yang panjang. Menurutnya pihak penggugat telah diberikan kesempatan untuk menyelesaikan persoalan izin tersebut ketika dalam proses perdamaian, namun ternyata hal itu tidak direspon baik oleh pihak yang bersangkutan.

"Sebenarnya sudah diberi kesempatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku tapi sesuai dengan batas waktu yang tertera di akta perdamaian itu yang bersangkutan tetap tidak dapat memperoleh izin yang diminta," ujar Suparman.

Baca Juga: Pemda DIY Jadwalkan Pematokan Jalur Tol, Warga Kalasan Tunggu Kepastian

Dikatakan Suparman, izin tersebut dibutuhkan untuk setiap pihak yang menggunakan tanah desa agar tetap sesuai dengan perundangan yang berlaku. Pihaknya mengaku selama ini juga tidak mempunyai ikatan perjanjian dengan pihak termohon eksekusi.

Berangkat dari situ, pihaknya akhirnya memutuskan untuk melakukan upaya hukum mengingat tanah tersebut adalah tanah milik desa. Hingga upaya terkahir yang dilakukan yakni eksekusi pengosongan lahan tersebut agar selanjutnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat desa.

"Dalam beberapa tahun ini pemerintah desa tidak menerima uang apapun dari pemohon," tegasnya.

Sementara itu Kasubag Bantuan Hukum, Jarot Anggoro Jati, mengatakan pelaksanaan eksekusi pengosoan ini berdasarkan putusan sejak tahun 2014 lalu. Pihaknya mengakui memang terdapat kesepakatan sewa menyewa lahan pihak pemerintah desa dengan pihak Katrin Kandarina tapi itu dilakukan sebelum tahun 2014 dan ternyata ditemukan bahwa proses itu belum memiliki izin langsung dari Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X.

"Sehingga untuk melanjutkan pemanfaatan lahan ini harus ada izin dari gubernur tentang sewa menyewa. Sebenarnya di akta perdamaian pihak Katrin menyatakan siap untuk melengkapi berkas-berkas sehingga nanti izinnya dapat turun tapi ternyata hingga saat ini izinnya tidak ada," tutur Jarot.

Baca Juga: Waduh! Gegara Tali Layangan, 13 Daerah di Jateng dan DIY Mati Lampu Semalam

Jarot menuturkan pelaksanaan eksekusi yang molor sejak 2014 itu diakibatkan oleh pemberian kesempatan kepada pihak Katrin untuk melakukan upaya hukum. Namun karena pada akhirnya dalam rentan waktu tahun 2014-2018 pihak Katrin tidak bisa mendapat izin dari gubernur, pihaknya lantas meminta pengadilan untuk langsung melakukan eksekusi.

Load More