Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Kamis, 05 November 2020 | 14:30 WIB
Satu dasawarsa erupsi merapi 2010, gunung merapi meletus menewaskan ratusan orang (Youtube BPPTKG)

Sepanjang perjalanan yang ia lihat hanyalah kendaraan yang terselimuti abu. Warga sekitar secara inisiatif langsung menyirami kaca setiap pengendara mobil yang lewat, yang sudah tertutupi abu tebal.

Dari semua kejadian itu, ada hal kocak yang tak akan terlupa olehnya. Tepatnya saat ia dan kedua saudara lelakinya mampir berlindung sementara waktu, di rumah sahabat Dholi yang ada di Mudal, Kalurahan Sariharjo, Kapanewon Ngaglik. Ia yang kala itu kehausan dengan tubuh penuh dengan abu Merapi, meminta segelas air.

"Aku mbok njaluk banyu [aku minta air]," pinta Dholi kepada temannya.

Tak ayal, temannya langsung memberikan sebotol air berukuran 1.500 ml. Dholi langsung meminum habis air di dalamnya. Lalu temannya yang keheranan akhirnya bertanya "Ooo... kowe ngelak to? Ngerti o tak jupukke wedang [ooo...kamu haus? Kalau begitu aku ambilkan air minum]," tutur Dholi seraya tergelak sejenak. Karena sebelumnya, sebotol air yang dibawakan temannya itu adalah air mentah, yang dikira akan digunakan untuk membasuh wajah yang penuh abu Merapi.

Baca Juga: Bus TransJogja Kecelakaan di Sleman, Mobil Partai yang Jadi Lawan Disoroti

Tiga gelas air minum dibawakan oleh temannya, dipersilakan bagi tiga orang tamunya. Mereka minum dan kemudian mencoba rehat sejenak, untuk melanjutkan perjalanan bertemu dengan keluarga lain, yang sudah mengungsi lebih dahulu.

Dua keluarga akhirnya bertemu di SMP Muhammadiyah 3 Depok, Yogyakarta. Kemudian bersama-sama menempuh perjalanan menuju rumah kerabat mereka yang lain, di kawasan Mlangi, Kalurahan Nogotirto, Kapanewon Gamping.

Sementara itu, warga lainnya, Dian Saraswati menyebut, tak ada tanda-tanda alam khusus yang sempat ia lihat di sekitar tempat tinggalnya kala itu.

Pasalnya, Dian sibuk menjadi relawan dan mengantarkan bantuan ke sejumlah lokasi pengungsian yang membutuhkan.

"Habis itu 5 November malah aku yang mengungsi, ke Gereja Kalasan sekitar dua pekan. Begitu meletus, langsung berangkat mengungsi, jam 00.00 WIB malam," ungkap warga Kalurahan Bimomartani, Kapanewon Ngemplak itu. 

Baca Juga: Soal Kompetisi, PSS Sleman Desak PSSI dan PT LIB Segera Gelar Pertemuan

Dian dan keluarga bukan menunda menyelamatkan diri, mengingat Gunung Merapi sudah erupsi sebelumnya yakni pada 26 Oktober 2020. Melainkan, pada saat itu rumah keluarga Dian dijadikan sebagai pengungsian sementara, oleh sekitar 15 orang warga Cangkringan.

Ditambah lagi, zona merah pada 26 Oktober 2010 baru sampai 10 Km, sedangkan sejak erupsi pada 5 November 2010, jarak aman diperluas menjadi 20 Km. Diketahui, kediaman Dian yang masuk dalam administrasi Kalurahan Bimomartani, berada pada radius 17 Km dari Merapi.

"Tiba-tiba langsung erupsi besar itu, langsung kami berangkat ke Kalasan. Waktu aku sampai gereja, baru kena hujan, sesaat sebelumnya belum kena abu. Sedangkan saudara-saudaraku yang menyusul ke Gereja, mereka sudah kotor semua," ungkap Dian.

Mengutamakan keselamatan nyawa, tak banyak benda yang sempat Dian bawa kala itu, hanya telepon genggam dan dompet. Namun ia tetap bersyukur, karena waktu itu sekeluarga kompak memutuskan mengungsi ke gereja Kalasan.

"Tanpa lama-lama. Jadi bisa sampai di sana selamat dan bisa kumpul semua dari keponakan sampai simbah putri," ujarnya.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More