SuaraJogja.id - Tidak sedikit, dari dulu hingga sekarang, kernyitan dahi orang tua kerap muncul dengan pertanyaan tajam tentang ingin menjadi apa di masa depan ketika mengetahui anaknya memutuskan untuk menekuni bidang seni. Dari mata sebagian orang, seni hanya dianggap sebagai hiburan.
Padahal lebih dari itu, seni dapat lebih mengenalkan diri sendiri serta malah menjadi sebuah profesi. Hal itu diakui oleh Kinanti Sekar Rahina, seorang penari, koreografer, sekaligus pengajar tari.
Perempuan yang lahir di Yogyakarta pada 26 Juli 1989 silam ini memang tidak mendapat pertentangan dari kedua orang tua ketika menekuni dunia seni, khususnya tari. Namun tidak lantas jalan Sekar di dunia seni berlangsung tanpa hambatan dan perjuangan. Sebab, masih banyak orang yang menganggap remeh bahwa seni itu bisa menjadi sebuah mata pencaharian.
"Dari kedua orang tua saya, saya melihat dunia seni itu menarik sekali, tapi tentu ada perjuangan. Tidak semua orang melihat seni itu sebagai sebuah mata pencaharian utama. Namun ternyata yang saya alami, saya terus mencoba memberitahukan kepada masyarakat bahwa dunia seni itu juga bisa menjadi sebuah pekerjaan," kata Sekar ketika dikunjungi SuaraJogja.id di Sanggar Seni Kinanti Sekar, Jalan Brigjend Katamso, Prawirodirjan, Yogyakarta, Minggu (15/11/2020).
Baca Juga: Hormati Korban Covid-19, Seniman AS Buat Instalasi Seni
Menurut Sekar, seni sangat mungkin dijadikan sebuah mata pencaharian asalkan pelaku seni tersebut bisa memilah dan memilih. Artinya, pemilihan itu dilakukan kepada penyampaian seni sendiri. Ada yang perlu dijadikan sebagai tempat bekerja dan juga sosialisasi bahkan aktualisasi diri.
"Ya karena memang seniman itu pekerjaan tidak melulu cari uang aja gitu," ucapnya.
Sekar merupakan anak tunggal dari dua seniman tersohor. Ayahnya, Jemek Supardi, dikenal sebagai Bapak Pantomim Indonesia, dan ibunya, Threeda Mayrayanti, adalah seorang pelukis. Ia mengakui bahwa kedua orang tuanya itu yang menjadi inspirasi terbesar dan terdekat dalam dirinya untuk akhirnya terjun ke dunia seni.
Memang tidak lantas semata-mata mengikuti jalan kedua orang tuanya sebagai pantomim atau pelukis, Sekar justru menjadikan media tari sebagai pengungkapan rasa dan medianya untuk berkarya.
Pertemuan Sekar dengan tari dimulai sejak dulu, tepatnya saat usia kanak-kanak. Ibunya, yang kerap memutar tembang saat sedang melukis, ternyata menarik perhatian Sekar.
Baca Juga: Mengunjungi Pameran Seni PULIH di Pasar Seni Ancol
Lantunan tembang itu membuat tubuh sekar merespons setiap iringan nada dengan gerakan tari. Dari situ, ayahnya, yang melihat, lantas segera menyadari ketertarikan sang putri dalam bidang seni.
"Bapak waktu melihat dan mungkin juga berpikir, "anaknya ini suka tari sepertinya." Terus Bapak itu tanya, "mau ikut nari po?" Langsung saya jawab, "mau-mau, saya mau ikut nari." Mungkin memang Bapak yang melihat peluang itu, dan dari situlah, tahu dunia tari," ucapnya.
Sekar menuturkan, dulu ia memilih sendiri tari yang akan dipelajari. Mulanya ia melakoni kelas balet saat duduk di kelas 3 SD selama tiga tahun, atau tepatnya hingga menginjak kelas 6 SD.
Setelah itu, Sekar sempat berhenti menari. Alasannya, saat masuk ke salah satu SMP swasta, Sekar tidak bisa memilih jenis tari yang akan dipelajari meskipun sebenarnya di SMP tempatnya menuntut ilmu pun terdapat ektrakurikuler tari.
"Masuk SMP, ada ekskul tari tapi aku ndelik, kayak lebih pilih-pilih gitu. Kok rasanya kurang suka sama jenis tari itu ya," kata perempuan berambut panjang itu sambil tertawa.
Mengakhiri masa SMP, ketertarikan Sekar kepada dunia tari kembali muncul. Sekar akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan menengah atasnya di SMKI, atau yang sekarang dikenal dengan SMKN 1 Kasihan.
Di saat itulah, Sekar mulai mengenal tari klasik, tari nusantara, hingga tari kreasi. Tidak hanya itu saja, teks klasik seperti Ramayana dan Mahabarata pun dipelajarinya sedikit demi sedikit. Baru setelah itu, Sekar makin memperdalam ilmunya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta hingga akhirnya lulus pada 2012 silam.
Perjalanan Sekar sejak kecil berkecimpung di dunia tari nyatanya memberi manfaat pada pementasan dan perkembangan dirinya dalam seni tari. Pelajaran dan pengalamannya menjajal berbagai macam jenis tari sekarang dapat dilebur, sehingga menciptakan sesuatu yang dianggap sebagai ciri khas Sekar sendiri.
"Dari balet misalnya, jadi di setiap karya-karyaku ada tubuh baletku. Maksudnya, itu kan bekalku dari kecil. Kalau orang lain mungkin dasarnya klasik atau kreasi. Justru kedua tarian itu membuatku merasa punya karakter atau ciri khas tertentu yang membuat orang lain juga "wah itu Sekar banget," dulu memang dalam karya ketubuhanku ada gerakan balet juga," tuturnya.
Namun saat ini, Sekar mengaku, karya-karyanya lebih kembali kepada tradisi lagi walaupun memang penyerapan beberapa motif tidak jauh-jauh dari unsur balet dan ebih dijadikan sebagai sebuah kolaborasi dalam beberapa karya.
Menurutnya, penggabungan ini tidak mendapat pertentangan dari dunia seni tari sendiri. Justu ini dianggap sebagai sebuah kebaharuan, yang pasti akan terus bermunculan di dunia seni tari.
"Jadi dosen atau praktisi seni tidak mempermasalahkan itu. Mungkin malah bisa disebut tari kontemporer dan semacamnya, sehingga bukan kritikan pedas, tapi lebih kepada kritik yang membangun," ungkapnya.
Disinggung kembali tentang profesinya sebagai penari, Sekar sejauh ini tidak menganggapnya sebagai sebuah pertentangan, melainkan menjadi suatu pemilihan yang dilakukan oleh seorang seniman, dalam hal ini penari.
Lebih lanjut Sekar menjelaskan bahwa ada pasar yang menginginkan sebuah pertunjukan tari tertentu. Di situ, sudah seharusnya penari tidak boleh lantas memberikan semata-mata ide idealisnya dalam pertunjukan itu. Artinya, lanjut Sekar, memang kembali lagi, harus bisa memilih dan memilah.
Sekar mengatakan, kalau memang sebuah pertunjukan itu ditujukan untuk hiburan, maka melihat pasar perlu dilakukan, begitu juga melihat siapa yang membutuhkan jenis pertunjukan atau tarian tertentu. Ada komunikasi yang terjalin dua pihak di situ.
"Cuma memang di satu sisi, aku juga punya ruang karyaku sendiri. Sebuah karya yang memang adalah bentuk ungkapanku pribadi. Bisa dibilang karya yang idealis, tapi bukan juga idealis yang terlalu kaku, tapi ideal dalam arti, karya ini bisa dijual, tapi juga bisa tidak dijual," terangnya.
Ditanya mengenai karya yang paling mengesankan selama ini, Sekar menyebut pementasan 'Jampi Gugat' oleh 100 perempuan penari berambut panjang di Tugu Pal Putih sekitar 2012 silam itu salah satunya. Karya itu, kata Sekar, makin membuka matanya untuk memberanikan diri membuat sanggar tari.
Langkah besar perempuan yang pernah tergabung dalam Tembi Dance Company itu akhirnya dapat diwujudkan pada 2015. Ketika itu Sanggar Seni Kinanti Sekar tepat berdiri.
“Sesuatu yang berat ketika kita mengembangkan seni itu justru menjadi tantangan. Kalau tidak ada tantangan kita hanya akan stuck, keenakan begitu saja. Di sekitar sanggar saya ini, ada banyak sanggar lain yang berdiri. Jadi memang untuk bertahan, kita harus punya karakter. Harus ada yang bisa dijual dan beda dengan sanggar lain,” tegasnya.
Keberadaan sanggar ini tidak ditampik melahirkan kepuasan tersendiri bagi diri Sekar. Pasalnya, kini Sekar dapat menularkan kecintaannya dengan dunia tari kepada murid-murid bimbingannya.
"Nantinya kalau mereka [muridnya] bisa mengajarkan lagi ke orang lain, itu poin tersendiri buat saya. Saat diberi kabar mereka mau pentas pun sudah jadi kebahagiaan tersendiri untukku," imbuhnya.
Sekar, yang tidak hanya menjadi seorang guru, tentu punya kepuasan lain ketika berbicara tentang sebuah karya atau koreografernya. Kepuasan itu akan didapat Sekar saat penonton, baik praktisi seni, pengamat, atau orang pada umumnya, dapat menangkap sebuah pesan linier atau gelombang yang dibentuk serta disampaikan melalui lekuk gerakan tubuhnya.
“Itu puas banget,” katanya tersenyum lebar.
Sekar mengakui dan masih sering menemui banyak orang tua yang meragukan anaknya sendiri saat akan menekuni atau terjun dalam dunia seni khususnya tari. Berangkat dari situ, Sekar bertekad untuk lebih semangat memberi gambaran dan membuka wawasan banyak orang bahwa seni bisa menjadi sesuatu yang diandalkan dalam kehidupan.
"Aku ingin memberi gambaran bahwa sebuah kesenian itu bisa dihargai. Penari bisa menjadi penulis, bisa menjadi tata rias. Bahkan penari bisa dihargai secara akademis. Jadi memang saat kamu belajar di dunia seni khususnya tari ada banyak peluang dan potensi yang bisa kamu kembangkan dalam dirimu sendiri,” pungkasnya dengan penuh semangat.
Berita Terkait
-
Seni Beladiri Pencak Silat, Manifestasi Warisan Budaya Turun-Temurun
-
Review Anime Arte, Kisah Perempuan Pemberani yang Mengubah Sejarah Seni!
-
Rans Entertainment 'Kecipratan' Proyek Kemenpar, Raffi Ahmad jadi Penghubung
-
Sudah Lapor LHKPN, Kekayaan Raffi Ahmad Lebih dari Rp 1 Triliun
-
Ulasan Buku Seni Mengubah Nasib, Memperbaiki Mindset tentang Keuangan
Terpopuler
- Apa Sanksi Pakai Ijazah Palsu? Razman Arif dan Firdaus Oiwobo Diduga Tak Diakui Universitas Ibnu Chaldun
- Aset Disita gegara Harvey Moeis, Doa Sandra Dewi Terkabul? 'Tuhan Ambil Semua yang Kita Punya...'
- Ragnar Oratmangoen: Saya Mau Keluar dari...
- Ragnar Oratmangoen Tak Nyaman: Saya Mau Kembali ke Belanda
- Bagaimana Nih? Alex Pastoor Cabut Sebulan Sebelum Laga Timnas Indonesia vs Australia dan Bahrain
Pilihan
-
Rusuh Persija vs Persib: Puluhan Orang Jadi Korban, 15 Jakmania, 22 Bobotoh
-
Dukungan Penuh Pemerintah, IKN Tetap Dibangun dengan Skema Alternatif
-
Perjuangan 83 Petani Kutim: Lahan Bertahun-tahun Dikelola, Kini Diklaim Pihak Lain
-
Persija vs Persib Bandung, Ridwan Kamil Dukung Siapa?
-
Jordi Amat Bongkar Dugaan Kasus Pencurian Umur: Delapan Pemain..
Terkini
-
Diduga Keletihan, Kakek Asal Playen Ditemukan Tewas Tertelungkup di Ladang
-
Berhasrat Amankan Tiga Poin, Ini Taktik Arema FC Jelang Hadapi PSS Sleman
-
Para Kepala Daerah Terpilih Jalani Cek Kesehatan Jelang Pelantikan, Kemendagri Ungkap Hasilnya
-
Gali Potensi Buah Lokal, Dinas Pertanian Kulon Progo Gelar Heboh Buah
-
Bawa Celurit di Jalanan, 3 Remaja di Bantul Diamankan Warga