Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 08 Februari 2021 | 07:47 WIB
Koordinator Lapangan Tim Pemakaman Pasien Terkonfirmasi Positif Covid-19 Tempat Pemakaman Umum (TPU) Madurejo Purwanto di TPU Madurejo, Prambanan, Sleman. - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

SuaraJogja.id - Hawa panas terasa cukup menyengat di wilayah Madurejo, Kapanewon Prambanan, Kabupaten Sleman siang itu. Terlihat beberapa orang duduk sembari menyeruput teh dan kopi.

Tak banyak yang dilakukan memang oleh beberapa orang tadi, sesekali bergurau. Ada juga yang menghisap rokoknya atau justru memejamkan mata sejenak ditemani embusan angin yang cukup kencang.

Kendati terlihat santai, orang-orang itu tetap siaga selama 24 jam dalam kesehariannya. Tidak selalu berada di satu tempat yang sama, bisa jadi saat mereka berada di rumah masing-masing.

Mereka adalah petugas pemakaman jenazah Covid-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Madurejo. Tugas itu telah mereka emban sejak kurang lebih setahun belakangan.

Baca Juga: Tertinggi, Pemakaman Pasien Covid-19 TPU Madurejo pada 2021 Tembus 14 Kali

Tak peduli derasnya hujan yang turun, terik siang yang menyengat, hingga dingin dan gelapnya malam, para petugas pemakaman jenazah Covid-19 selalu siap untuk mengantarkan jenazah Covid-19 ke tempat peristirahatan terakhir. Keikhlasan, semangat, tekad kuat, dan canda tawa adalah bekal mereka.

"Ya kita siap 24 jam, pokoknya setiap ada panggilan [pemakaman jenazah Covid-19] kita siap. Orang meninggal tidak janjian Mas, kalau janjian saya suruh pagi terus saja," gurau Koordinator Lapangan Tim Pemakaman Pasien Terkonfirmasi Positif Covid-19 TPU Madurejo Purwanto, yang memecah tawa siang itu, Minggu (7/2/2021).

Disebutkan Purwanto, datangnya jenazah Covid-19 memang tidak bisa dipastikan. Saat awal-awal atau tepatnya pemakaman yang dimulai April 2020 lalu, jenazah Covid-19 sampai di TPU Madurejo tengah malam.

Tempat Pemakaman Umum (TPU) Madurejo, Prambanan, Sleman - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

Namun pada Januari 2021, di mana jumlah kematian pasien terkonfirmasi Covid-19 meningkat cukup drastis, pemakaman bisa dilakukan setiap saat. Artinya, jenazah tidak hanya dibawa ke pemakaman malam, tapi juga pagi dan siang hari.

"Setelah jenazah Covid-19 datang ke sini ya harus secepatnya dimakamkan," imbuhnya.

Baca Juga: Liang Kubur TPU Madurejo Dikabarkan Tinggal 10, Begini Kata Pemkab Sleman

Purwanto tidak menampik bahwa selalu ada suka duka yang dialami selama bertugas menjadi petugas pemakaman jenazah Covid-19. Meski kadang duka itu datang lebih banyak, tetapi ia tetap sekuat tenaga melayani dan membantu keluarga jenazah yang ditinggalkan.

Ia bercerita, pemakaman yang tidak mengenal waktu membuat para petugas harus siap dengan kondisi apa pun, termasuk hujan di malam hari. Tak jarang para petugas yang sejak berangkat dari rumah sudah diguyur hujan saat tiba di TPU Madurejo pun akan langsung bergegas berganti menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap untuk kembali menerjang hujang.

Mulai dari baju hazmat, masker, pelindung mata (google), pelindung wajah, hingga sarung tangan akan selalu melekat saat pemakaman jenazah Covid-19 dilakukan. Hanya diterangi dua lampu sorot, tak banyak area yang petugas bisa lihat.

"Kadang melihat lubang [kubur] saja kadang tidak bisa. Harus saling mengingatkan, harus saling fokus. Sempat kejadian karena pemakaman yang dilakukan pada malam dan hujan, lubang itu tidak terlihat. Saat menggeser peti, ada petugas yang kehilangan keseimbangan hingga jatuh terpererosok di lubang di sebelahnya," ucapnya.

Memang diperlukan kondisi fisik yang fit dan konsentrasi yang fokus saat menjalankan tugas pemakaman tersebut. Dikatakan Purwanto, jika memang ada dari salah satu petugas yang tidak fit, mereka bisa untuk meminta izin untuk tidak datang.

"Kita punya grup untuk berkoordinasi. Jadi kalau ada yang kurang fit bisa langsung memberi kabar di grup dan nanti akan digantikan oleh orang lain. Sebab, kalau dipaksa saat kondisi tidak fit, takutnya malah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," ungkapnya.

Ketika ditanya mengenai pengalaman pribadinya saat pertama memakamkan jenazah Covid-19, Purwanto mengaku langsung mandi sebersih mungkin setelah pemakaman selesai. Bahkan setelah mandi pun ia masih tetap selalu menggunakan hand sanitizer untuk membersihkan tangannya.

Koordinator Lapangan Tim Pemakaman Pasien Terkonfirmasi Positif Covid-19 Tempat Pemakaman Umum (TPU) Madurejo Purwanto di TPU Madurejo, Prambanan, Sleman. - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

Pria yang sudah 13 tahun bekerja di dunia pemakaman jenazah ini mengaku juga tidak ada rasa kikuk atau yang lain saat pemakaman jenazah Covid-19 pertama, hanya memang perlakuan terhadap jenazah itu agak sedikit berbeda.

"Kalau kikuk atau gimana sih tidak, cuma memang menurunkan peti juga harus ekstra berhati-hati. Kita pertama menyentuh peti juga sempat ada rasa tidak bisa, tapi ketika tahu sudah dibungkus plastik dan semakin sering juga biasa," cetusnya.

Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat memakamkan jenazah Covid-19 ketimbang dengan jenazah biasa. Bahkan para petugas juga dulu sempat latihan terlebih dulu untuk menurunkan jenazah dengan menggunakan lemari yang ada.

"Kita dulu latihan pakai lemari biar tahu gimana cara menurunkan yang benar. Selain penurunan agar tetap seimbang, cara pengurukan peti setelah diturunkan juga harus diperhatikan. Kalau jenazah Covid-19 harus rata biar tidak berat sebelah dan memang wajib menggunakan peti," terangnya.

Pria yang akrab disapa Pak Krebo ini menuturkan, saat ini jumlah petugas pemakaman yang ada di TPU Madurejo sebanyak 9 orang termasuk dirinya. Sementara untuk ia sendiri, sampai saat ini terhitung sudah memakamkan sebanyak 59 jenazah Covid-19.

Tak hanya bertugas untuk ikut mengantarkan jenazah ke liang kuburnya, Purwanto juga melakukan dokumentasi prosesi pemakaman jenazah hingga berkoordinasi dengan keluarga.

"Jadi nanti rumah sakit akan menelpon call center untuk memberikan kabar bahwa ada jenazah Covid-19. Setelah data yang bersangkutan akan dicek terlebih dulu, dari surat kematian KTP dan lainny. Lalu kita hubungi keluarga untuk konfirmasi apa benar akan dimakamkan di TPU Madurejo, kalau memang benar lalu saya bisa menghubungi teman-teman untuk merapat," paparnya.

Koordinasi dengan rumah sakit menjadi penting karena memang petugas pemakaman juga memerlukan waktu untuk bersiap dengan segala APD-nya. Ditambah dengan tambahan waktu tempuh yang tidak sebentar dari rumah masing-masing menuju ke TPU Madurejo.

Disampaikan Purwanto, paling tidak para petugas diberikan waktu 1,5 jam setelah jenazah dikoordinasikan dan pasti akan dimakamkan di TPU Madurejo. Waktu itu digunakan untuk menuju ke TPU Madurejo hingga siap dengan APD.

Jika semua petugas siap, maka ia bisa mempersilakan rumah sakit untuk mengantarkan jenazah. Koordinasi itu diperlukan agar tidak ada miskomunikasi atau saling menunggu yang menyebabkan pemakaman menjadi lebih lama.

Bahkan pernah suatu ketika, kata Purwanto, dari pihak rumah sakit sudah mengarahkan ke TPU Madurejo. Namun ternyata pihak keluarga justru sudah melakukan koordinasi dengan pihak kampung dan diterima, tapi tidak memberi tahu para petugas di TPU Madurejo.

"Padahal saat itu petugas sudah sampai sini [TPU Madurejo]. Kita nunggu lama dan saat ditelpon lagi ternyata sudah dimakamkan di kampung. Ya nunggu 2 jam lebih, temen-temen ini rumahnya juga tidak dekat ada yang Srumbung, Cangkringan, dan Godean, ya terpaksa balik kanan," ujarnya.

Purwanto menilai, koordinasi saat ini sudah berjalan lebih baik dibandingkan beberapa waktu lalu. Untuk melancarkan kerja petugas pun, ia sempat menempel stiker gugus tugas di kendaraan masing-masing petugas.

Disunggung mengenai perlengkapan APD yang tersedia, Purwanto mengaku memang hingga saat ini ketersediaannya masih minim. Mau tidak mau, para petugas pemakaman jenazah Covid-19 pun harus rela menggunakan APD bekas.

Mereka sudah mencoba meminta pengajuan bantuan kepada pihak-pihak terkait namun memang saat ini ketersediaannya tidak ada. Ia menyebut tak mungkin petugas harus menunggu APD yang baru itu datang sementara ada jenazah yang harus segera dimakamkan.

"Kita selalu melakukan pengajuan tapi juga sama-sama kehabisan terpaksa harus pakai yang lama. APD bekas itu juga sumbangan," sebutnya.

Purwanto menuturkan bahwa APD yang telah digunakan itu tidak lantas dibuang begitu saja. Namun mereka rendam lalu dicuci dan disemprot dengan cairan desinfektan.

Hanya baju hazmat dengan bahan tebal saja yang bisa dicuci untuk digunakan lagi. Sedangkan hazmat yang berbahan tipis tidak bisa dicuci dan digunakan kembali karena akan lebih mudah rusak.

"Setiap habis dipakai direndam terus dicuci. Waktu pertama itu baru bisa langsung dibuang karena memang seharusnya sekali pakai. Tapi lama-lama kan kurang terus dicuci, jemur lalu pakai lagi," tuturnya.

Tak hanya baju hazmat tapi juga dengan sarung tangan latex hingga face shield. Bahkan para petugas pun menyebut masih kekurangan masker medis yang dapat digunakan hanya sekali saja.

Sekarang pun, para petugas pemakaman juga tidak lagi mendapatkan bantuan berupa extra fooding. Mereka harus bertahan dengan mengisi perutnya sendiri di waktu senggang baik sebelum ataupun sesudah bertugas.

"Dulu ada extra fooding, sekarang tidak. Ibaratnya mandiri, makan sendiri. Untuk APD dulu juga pernah diberikan oleh PU berupa bantuan sarung tangan latex, sekarng belum. Mungkin karena dana di awal tahun belum turun. Tapi selagi dana belum turun ya kita tetap melakukan pelayanan," ujarnya.

Purwanto mengatakan, saat ini yang paling dibutuhkan oleh petugas pemakaman adalah masker medis dan sarung tangan latex. Selama ini mereka hanya mengandalkan swadaya bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

"Selama ini kita mandiri beli sendiri. Kadang ada dari temen yang beli di apotek, lalu buat bersama nanti gantian. Ya swadaya, sambil nunggu dari dinas yang belum cair," imbuhnya.

Keluarga jadi semangat

Persoalan yang dihadapi oleh para petugas di lapangan saat memakamkan jenazah Covid-19 pun belum ditambah dengan persoalan lain yang terjadi di luar. Stigma masyarakat yang seakan mengucilkan menjadi pemandangan biasa bagi Purwanto dan petugas lainnya saat awal bertugas.

Pandangan masyarakat yang menganggap bahwa petugas pemakaman jenazah Covid-19 itu bersentuhan dengan Covid-19 dan sudah pasti terpapar itu cukup kuat saat pandemi mulai bergulir setahun silam. Tak sedikit warga yang memilih untuk menjauhi para petugas pemakaman termasuk Purwanto.

"Ya dulu sih masih sering. Dulu kan warga masih ketakutan. Jadi di pikiran mereka itu kita pulang membawa virus," katanya.

Ditambah lagi, kata Purwanto, saat itu gerakan lockdown wilayah di kampung-kampung masih juga sering dilakukan. Bahkan sempat ada penolakan dan pengucilan dari warga tempatnya tinggal saat itu.

Perkataan warga di belakang Purwanto dan keluarganya, tidak dipungkirinya sempat menjatuhkan mentalnya. Padahal ia sudah berjuang sekuat tenaga melayani masyarakat dengan cara mengurus pemakaman jenazah Covid-19.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, rompi Satuan Gugus Tugas Covid-19 pun diterimanya. Mungkin terlihat remeh, tapi rompi itu seolah menjadikan semangat melayani sesama menjadi berkobar lagi.

"Selain rompi yang buat kita bangga, dukungan keluarga tentu yang selalu jadi semangat. Istri saya mendukung, saya tugas di pemakaman. Itu jadi motivasi saya. Biarpun katakanlah nanti saya nanti harus diisolasi satu keluarga tidak masalah yang penting keluarga menerima," tegasnya.

Menurutnya, dukungan keluarga itu sangat berpengaruh besar bagi perjalanan ketugasannya memakamkan jenazah Covid-19 hingga saat ini. Terpenting, ucap Purwanto, ia selalu melaksanakan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 dengan baik di mana pun berada setelah tugas atau pun sebelum.

"Saya juga selalu laksanakan protokol kesehatan, cuci tangan, pisahkan baju kalau di rumah sehabis pulang kerja. Lha wong kalau saya yang dikeluarkan dari pekerjaan, tetangga juga tidak mencarikan kerja. Jadi ya yang penting keluarga sudah paham tentang tugas saya," tuturnya.

Alasan kemanusiaan juga selalu menjadi pengingatnya untuk bertahan dalam setiap kondisi yang ada. Ia menila jika tidak ada orang-orang atau petugas yang mau memakamkan jenazah Covid-19 lalu siapa lagi.

Oleh karena itu, Purwanto jualga tidak tinggal diam ketika bisikan dari tetangga atau orang sekitarnya silih berganti datang menghampiri. Ia justru tetap teguh bahkan memberikan edukasi dan pemahaman tentang tugasnya tersebut.

"Saya memberi edukasi juga kepada warga. Misalnya rutinitas yang dilakukan petugas pemakaman. Saat setelah melakukan pemakaman, lalu disemprot, bersih-bersih dan lain sebagainya. Saya selalu bagikan itu, dari situ perlahan-lahan warga mulai menerima. Mungkin waktu itu belum paham, jadi hanya diterima dengan mentah saking takutnya," kata bapak dua anak ini.

Pria kelahiran 20 Maret 1976 yang juga pernah bertugas memakamkan jenazah korban erupsi Gunung Merapi 2010 itu menambahkan bahwa bercanda menjadi penting dalam tugasnya kali ini. Menurutnya di dalam setiap lelucon atau canda yang disampaikan oleh sesama petugas di situ juga mereka saling menguatkan satu sama lain.

Selain itu, bercanda juga dinilai dapat mengurangi tingkat stres yang ada di saat mereka melakukan tugasnya. Dengan bercanda mereka bisa tetap semangat di tengah keterbatasan yang ada untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.

"Sesama petugas juga saling menguatkan dengan cara bercanda dulu biar rasa tegang hilang. Ejek-ejekan setelah eksekusi itu bahas yang tadi juga buat lelucon. Intinya saling menguatkan satu sama lain," tandasnya.

Load More