Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 10 Maret 2021 | 07:35 WIB
Suasana pameran klitih The Museum of Lost Space saat ditemui wartawan di Galeri Lorong, Dusun Jeblok, Kalurahan Tirtonirmolo, Kapanewon Kasihan, Bantul, Selasa (9/3/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Fenomena kejahatan jalanan di Jogja yang kini kerap disebut klitih nyatanya tak luput dari pengamatan para seniman. Hal ini kemudian diterjemahkan oleh seorang pemuda asal Magelang, Jawa Tengah, Yahya Dwi Kurniawan saat menggelar pameran kolaborasi bertema The Museum of Lost Space. 

Pria 28 tahun yang saat ini berdomisili di Yogyakarta itu menuangkan pandangan hidup sekelompok geng remaja atau klitih dalam pameran yang dihelat di Galeri Lorong, Dusun Jeblok, Kalurahan Tirtonirmolo, Kapanewon Kasihan. Pameran yang berkolaborasi dengan peneliti klitih, Yohanes Marino dan Febrian Adinata Hasibuan, perupa dan juga sutradara teater itu dibuka sejak 6 Maret-6 April 2021.

Bukan tanpa alasan Yahya mengambil tema klitih untuk pameran kedua kalinya ini. Laki-laki kelahiran 4 Agustus ini pernah tinggal di dunia yang lekat dengan kekerasan hingga dirinya dewasa.

“Ini inspirasi dari aku sendiri, karena seorang seniman akan menampilkan karya. Menurut aku karya yang paling dekat yang bisa dipamerkan oleh seniman adalah yang dekat dengan individunya. Nah karena di Magelang aku dekat dengan isu ini (klitih dan kekerasan), aku mengangkat dengan sisi yang lainnya,” terang Yahya ditemui Suarajogja.id, Rabu (9/3/2021).

Baca Juga: Dilaporkan ke Polisi, Pelaku Klitih di Maguwoharjo Dihukum Wajib Lapor

Tak membuat lukisan atau kalimat mutiara seperti seniman lainnya, Yahya memilih memamerkan senjata tajam yang biasa digunakan para pelaku klitih di Yogyakarta. Lebih kurang terdapat 20 senjata tajam, berupa celurit, kapak dari gear motor, gergaji yang dibuat dari lempengan besi, sikat gigi yang dimodifikasi berbentuk runcing hingga pedang sepanjang 30 cm.

Yahya Dwi Kurniawan, seniman yang membuat pameran seni The Museum of Lost Space saat ditemui wartawan di Galeri Lorong, Dusun Jeblok, Kalurahan Tirtonirmolo, Kapanewon Kasihan, Bantul, Selasa (9/3/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

“Ini saya anggap juga seni. Pameran ini saya dan kawan-kawan persiapkan delapan bulan lalu. Satu bulan sebelum pameran digelar saya membuat senjata tajam ini. Memang tidak semua saya buat, beberapa diantaranya ada senjata yang dimiliki oleh anggota klitih dan saya pinjam untuk dipamerkan,” terang dia.

Tidak hanya menampilkan senjata tajam, sejumlah tangkapan layar dari media sosial yang bersinggungan dengan kekerasan jalanan, dipajang dan dicetak hitam putih di sudut ruangan pameran di lantai 2 Galeri Lorong. Bahkan, ada video dokumenter yang dibuat Yahya dengan menceritakan kehidupan dan sisi lain dari seorang pelaku klitih.

Tidak sekedar menampilkan pameran seni, Yahya menceritakan hampir delapan bulan berkomunikasi dengan geng dan anak-anak klitih. Persoalan klitih muncul dari berbagai faktor salah satunya lingkungan.

Yahya mencoba menggambarkan sisi lain dari seorang pelaku klitih. Mulai dari seorang remaja biasa hingga memutuskan terjun ke dunia kekerasan, bahkan bisa dibilang sadis karena membuat korban cidera parah hingga berujung kematian.

Baca Juga: Babak Belur, 2 Remaja Diduga Pelaku Klitih Diamankan Warga Maguwoharjo

“Aku juga tidak setuju dengan klitih, tapi tidak bisa menyalahkan juga, karena sebelumnya aku hidup di lingkungan yang keras seperti itu dan mencoba melihat lebih jauh dan sisi lain mengapa mereka memilih menjadi seperti itu,” jelas dia.

Menurut Yahya, pelaku klitih tak memiliki ruang berekspresi di lingkungan keluarganya. Tak hanya itu minimnya perhatian menjadi salah satu faktor anak-anak remaja terjerumus ke lingkaran klitih.

Kendati demikian, seniman yang sebelumnya pernah menggelar pameran serupa di Magelang bertema kekerasan ini melihat, ada seorang anak remaja yang harus dirangkul agar menemukan jalan pulang yang lebih baik.

“Apakah benar klitih itu benar-benar salah dan kekerasan harus diselesaikan dengan kekerasan?. Jika ada Jogja Darurat Klitih, apa yang harus diperbuat?, maka saya ingin memberikan wadah mereka berekspresi di pameran ini,” katanya.

Suasana pameran klitih The Museum of Lost Space saat ditemui wartawan di Galeri Lorong, Dusun Jeblok, Kalurahan Tirtonirmolo, Kapanewon Kasihan, Bantul, Selasa (9/3/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

Pameran yang dibuat Yahya, menyediakan ruang bagi para pelaku klitih. Ada satu sudut ruangan yang dimanfaatkan pelaku yang saat ini masih eksis menceritakan kelamnya hidup di lingkungan klitih. Tak hanya itu ada satu buah tembok panjang yang bebas dicoret oleh pengunjung maupun pelaku yang datang.

Selain itu, hasil karya dan cerita para pelaku klitih akan dibukukan dan nantinya akan dibuat teater selama pameran digelar.

Edukasi sisi gelap Klitih

Kurator Pameran, Arham Rahman menjelaskan pameran yang akan digelar selama satu bulan penuh ini ingin mengedukasi masyarakat dan juga pelaku untuk melihat sisi lain dari gelapnya dunia klitih. Sebuah permasalahan tidak akan selesai jika tak bisa menurunkan ego masing-masing.

Arham menyebut setidaknya ada tiga hal yang memicu remaja beralih ke dunia klitih. Pertama penyempitan ruang kota dimana didominasi pariwisata yang mengambil ruang anak muda.

“Bukan bermaksud mendikotomi pendatang atau wisatawan, namun terlihat ada gejala penyempitan ruang kota yang memperbesar potensi kekerasan jalanan. Ruang ekspresinya berkurang, misal masifnya (pembangunan) hotel. Yang kedua terkait psikologis anak, kebanyakan masalah keluarga, bukan ekonomi,” kata dia.

Arham mengatakan bahwa Klitih berbeda dengan kejahatan lainnya. Klitih lebih kepada sadisme. Hal itu bisa berawal dari bullying, bahkan ancaman dari orang terdekat yang direkam oleh otak anak sehingga melampiaskan dengan cara yang kejam.

“Misal ayah anak ini mengancam dengan cara membakar dia. Ini tentu menjadi trauma si anak. Atau ayah sering memukuli ibu dan disaksikan oleh anak tersebut, bahkan malah anak yang dipukuli oleh orang tuanya, itu tentu menular kepada anak. Tidak tepat jika membuat milisi sipil untuk memberantas klitih. Mereka juga korban ,” ujar Arham.

Ketiga lanjut dia adalah edukasi. Menurutnya ada edukasi dasar kehidupan yang harus dimiliki anak seperti edukasi keluarga, lingkungan dan sekolah.

Ia melanjutkan, pelaku klitih mudah diajak berkomunikasi dengan menyesuaikan gaya mereka. Artinya persoalan tersebut bisa diselesaikan jika masing-masing pihak bisa duduk bersama mencari solusi terbaik.

Load More